“Kamu nggak turun?” tanya laki-laki muda bernama Hasan yang tak lain adalah atasan Zid di kantor hukum. Perempuan yang ditanyai itu melirik jam analog mungil di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan tepat pukul sembilan pagi.
“Sudah lima belas menit mobil berhenti di samping gerbang begini. Pengasuh pesantren ini menunggu kita, Zid,” sambungnya. Laki-laki yang berusia dua tahun lebih muda dari Zid itu kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menetralisir ketidak nyamanan akan sikap prajurit perempuannya di kantor hukum milik ayahnya itu.
Perempuan berusia tiga puluh tiga tahun yang dipanggil Zid menoleh ke sisi kanan. Dari balik kaca mobil, kursi tengah dimana ia duduk, diperhatikannya papan nama sebuah lembaga pendidikan agama yang mungkin tidak akan pernah ia lupakan.
Pesantren Al-Amin. Sudah enam tahun berlalu sejak dirinya pertama kali datang. Kini, posisi gedung menunjukkan banyak perubahan. Tampaknya, lembaga pendidikan agama itu semakin berkembang. Dibuktikan dengan padatnya bangunan asrama yang Zid tahu semula masih lahan kosong.
Zid menghela napas, seperti pesakitan yang tergesa-gesa memasok oksigen, atau korban bencana saat dadanya tertimpa beban berat.
“Tolong masuk halaman pesantren, Nadiva,” pintanya pada perempuan di balik kemudi. Sahabat yang juga menjadi sekretaris dan sopir pribadinya mengangguk, lalu menyalakan mesin kendaraan roda empat yang mereka tumpangi.
Sebelum benar-benar keluar mobil, Zid memerhatikan halaman lembaga yang dulu hanya terpasang paving block abu-abu, kini telah lengkap dengan bermacam tanaman serta berbagai jenis bunga yang menghiasi. Dia kagum pada siapa saja yang merawat area itu sehingga halaman pengasuh pesantren terlihat seperti taman kota. Zid kembali menghela napas hingga membuat Nadiva yang semula hanya diam menjadi heran.
“Napasmu terdengar berat. Apa hal buruk pernah terjadi di sini?” tanya Nadiva sopan, berupaya profesional di hadapan atasan Zid.
Hasan yang mendengar pertanyaan sekretaris Zid pun menjadi penasaran, sehingga ia memutar badannya, menatap kursi tengah, tempat di mana salah Zid, berada. Zid balas menatap laki-laki berjambang tipis. Rambut keritingnya yang dipotong cepak, menambah kesan tegas dan berwibawa.
“Saat memintaku datang ke mari, Papa mengatakan bahwa kamu pernah mengurus sebuah kasus di sini. Beliau tidak menceritakan detailnya, hanya menjelaskan kamu dipercaya untuk memutuskan dari sudut pandang pengacara perempuan. Apa kasusnya besar?”
Zid belum juga menjawab. Ia masih menatap atasannya tanpa berkata apa pun. Ia kemudian berganti menatap Nadiva yang memerhatikannya dari kaca spion di atas kursi kemudi. Setelahnya, Zid kembali menatap halaman bilik pengasuh pesantren. Pandangannya menerawang, mengingat peristiwa selama magang di kantor hukum milik Pak Hakam, orang tua Hasan—atasannya saat ini.
“Zid,” tegur Hasan.
“Nadiva, tolong keluar dulu. Aku perlu bicara dengan Pak Hasan,” pintanya pada sang sekretaris.