Nadiva menyeret langkahnya tergesa-gesa melewati setiap sudut ruangan yang sepi dari jangkauan santri, menyusul perempuan berpostur tinggi dan agak berisi itu ke halaman belakang kediaman Kiai Abror, tempat di mana Gus Khalid biasa menghabiskan hari-hari seperti yang diceritakan Bu Nyai Asma sebelumnya.
Nadiva berhenti ketika sampai di halaman belakang. Dirinyaa melihat Zid berdiri agak jauh dari sisi samping Gus Khalid yang duduk di kursi santai berbahan baku rotan, dengan kaki berselonjor.
Zid tampak meremas jemarinya. Entah kenapa firasat Nadiva lebih buruk tentang nasib Gus Khalid. Akankah dia menghajar putra Kiai yang termakan cinta buta tersebut?
Tak tahan berperang dengan pikirannya sendiri, Nadiva mengalihkan pandangan. Bola matanya menyisir tempat itu. “Indah dan menenangkan,” gumamnya.
Kolam ikan yang Nadiva taksir berukuran 2x2 Meter, dikelilingi beberapa pot tanaman hijau, tanaman bunga mawar, serta rumput Jepang yang terlihat amat dirawat. Layaknya taman dalam serial kartun Disney yang masih ditonton Nadiva hingga kini. Meski tidak terlalu luas, halaman belakang seperti milik keluarga Abror ini cukup menyenangkan untuk berkumpul bersama keluarga.
Puas menikmati panorama menakjubkan, Nadiva kembali menatap laki-laki berbusana koko putih, sarung Pekalongan bermotif lurik, serta songkok yang dikenakan agak ke belakang. Dari tempatnya berdiri, tak jauh dari belakang punggung Zid, diperhatikannya tatapan sayu Gus Khalid yang kosong. Buku di atas pangkuannya dibiarkan terbuka mengikuti tiupan angin, serta auranya yang terlihat seperti ketika seseorang kehilangan gairah hidup.
“Bu Nyai Farhana. Saya mohon, terimalah lamaran Khalid kali ini. Semenjak lamarannya ditolak Ning Zid beberapa waktu lalu, dia seperti orang asing dalam keluarga kami. Walau tetap mengajar para santri, tetap makan dan beraktivitas, tapi tatapan matanya terlihat kosong. Dia lebih banyak melamun dan menangis. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan,” tuturnya. “Tidak ada lagi Khalid yang memiliki keinginan meneruskan program doktor ke luar negeri.” Begitulah kira-kira yang Nadiva dengar beberapa saat lalu.
Aku nggak ngerti makna cinta yang dirasakan Gus Khalid. Caranya mencintai perempuan keras kepala seperti Zid dengan begitu dalam, kupikir berlebihan, batin Nadiva lagi.
“Gus Khalid!”
Nadiva kembali terperanjat. Kali ini intonasi Zid lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Ia menyaksikan Gus Khalid menoleh ke arah sumber suara, nampak terkejut, lalu perlahan berdiri dengan tatapan bingung. Matanya tidak terlepas dari sosok Zid yang berada di hadapannya. Perlahan, ketika memandangnya, Nadiva merasa iba. Gus Khalid ... benar-benar seperti manusia yang terserang gelombang Myriad.
“Orang-orang bilang, laki-laki seharusnya berjiwa tangguh. Kalau ingin menikahi aku, seharusnya kamu berupaya lebih gigih, bukan bunuh diri dengan perasaan konyol begini!” Gus Khalid masih menatap perempuan di hadapannya tanpa ekspresi.
“Denger, nggak?” sentak Zid. “Kamu ingin belajar di Mesir, kan? Pergilah! Kalau ingin menikahiku, kamu harus menjadi manusia yang berguna!” pungkasnya.
Oh My God. Nadiva takjub. Ia bertanya-tanya, apakah itu pertanda lampu hijau? Benarkah yang mengatakan itu ... Zid? Atau ia hanya menggertak Gus Khalid agar berhenti menjadi patung bernyawa?
Nadiva terus menerka-nerka dalam hati. Zid berbalik tanpa aba-aba. Pupil matanya menangkap kepanikan dan salah tingkah sahabatnya. Zid berjalan menghampiri Nadiva, kemudian bertanya, “apa aku kelihatan keren?”
“Astaghfirullah. Keren apanya?” gerutu Nadiva. Jadi, tadi hanya berpura-pura? Kukira Zid benar-benar mempertimbangkan untuk menerima lamaran Gus Khalid,cibir Nadiva dalam hati.
Nadiva meraup napas sebanyak mungkin, kemudian menatap Zid. “Ning ...,” panggilnya.