Melangkah keluar dari halaman belakang menuju ruang tamu kediaman Kiai Abror, Nadiva kembali mengingat ucapan Zid beberapa tahun sebelum dirinya memutuskan melepas masa lajang.
Hidup bukan hanya tentang menikah dan hubungan pernikahan, Nad. Kalau kamu memutuskan untuk berumah tangga, usahakan keputusan itu bukan karena intervensi dari pihak mana pun, tapi karena keinginanmu, kesiapanmu, dan pastinya rida orang tuamu. Kehidupan rumah tanggamu, kamu yang menjalani, bukan pihak lain, termasuk aku, dan sahabat-sahabat kita.
“Fara.”
Panggilan lembut Umi Farhana menyapa pendengaran Faradisa Nadiva. Tak terasa, ia yang biasa dipanggil Fara oleh orang-orang terdekatnya telah sampai di ruang tamu. Nadiva mengedarkan pandangan, lalu menyadari keberadaan Kiai Abror dan Abah Salman di sana. Umi Farhana tersenyum, sementara Zid hanya diam tanpa ekspresi.
“Mikirin apa, sih, sampai jalan sambil ngelamun?” Pertanyaan lembut Umi Farhana menerbitkan senyum canggung di bibir Nadiva.
Nadiva menggelengkan kepala, malu. Dihampirinya tempat di mana semua orang berkumpul. Ketika hendak mendudukan diri, lesehan di karpet Turki di samping sofa panjang, Zid memberi isyarat untuk duduk di sofa persis di sebelahnya.
“Kiai Salman, mohon maaf karena terpaksa membawa Jenengan ke dalam gubuk kami untuk hal semacam ini. Jenengan pasti sangat sibuk, ” sesal Kiai Abror. Abah dan Umi Zid tersenyum ramah.
“Ning Zid, saya juga mohon maaf telah mengganggu Jenengan. Aktivitas sebagai pengacara sekaligus pengasuh santri pasti sangat menyita waktu. Terima kasih banyak telah bersedia membantu kami. Semoga dengan datangnya Ning kemari, akan membuat Khalid lebih baik. Setidaknya, dia mau berbicara dengan kami,” tukas Kiai Abror.
Meski nama Zid tidak diketahui publik sebagai putri bungsu sepasang pendakwah terkenal, sebab Buya Zakaria tidak mengizinkan identitas cucu perempuannya diekspos, namun Kiai Abror yang notabene putra sahabat Buya Zakaria, kakek Zid, tahu betul kisah keluarga itu.
Zid tersenyum, kemudian menatap Umi dan Abahnya. Memberi isyarat untuk segera keluar dari kediaman itu. Abah yang memahaminya kemudian pamit undur diri. Kiai Abror tersenyum ramah dan mengangguk.
Nadiva dan Zid berjalan di belakang Umi Farhana dan Abah Salman, menuju tempat di mana mobil diparkir. Abah Salman berbalik hingga berhadapan dengan Zid dan Nadiva.
“Zid, Fara, jadwal kami penuh hari ini. Abah ada undangan di stasiun televisi. Umi juga ada undangan siaran radio. Jadi, Umi dan Abah belum bisa berkunjung ke Depok,” jelas Abah Salman.
“Tidak apa-apa. Kami sangat maklum dan mengerti. Kami pun sibuk dan mungkin tidak akan maksimal dalam menjamu Jenengan saat ini,” ujar Zid santun.