“Jangan sentuh aku. Tolong jangan sakiti aku lagi. Aku ingin hidup,” racau santri bernama Bunga itu.
Para santri lain yang semula diminta meninggalkan area kamar Bunga kembali berdatangan. Melihat kondisi Bunga yang histeris, tidak sedikit yang menganggap santri baru itu dirasuki jin, dan tidak sedikit pula yang menganggap Bunga gila.
“Bunga, tidak ada orang jahat di sini. Kami semua yang ada di sini sama-sama perempuan.”
Napas bunga berangsur teratur. Ia terlihat sedikit lebih tenang setelah mendengar bahwa tidak ada laki-laki di dalam lingkungan itu. Santri itu merebahkan diri di lantai yang dingin, masih dengan memeluk lutut. Ia kemudian menutup matanya.
***
Pagi hari sebelum bertandang ke kantor, Zid memanggil Bunga dan Hanifah bergantian, untuk diajak bicara berdua di perpustakaan pribadinya setelah jadwal mengaji pagi selesai. Zid meminta pengurus pesantren untuk mengirim surat izin Bunga dan Hanifah ke sekolah tempat mereka belajar.
Tiga puluh menit berlalu, Bunga belum juga membuka suara. Hanifah pun belum tampak batang hidungnya. Zid melirik jam tangannya. Sebentar lagi ada jadwal konsultasi klien, lalu sore bertemu dengan sahabat-sahabatnya.
“Mbak Bunga belum ingin bicara?”
Santri bernama Bunga mengangkat wajah. Matanya berkaca-kaca, hidungnya merah, bibirnya bergetar.
“Kalau Mbak belum betah di pesantren ini, coba beradaptasi pelan-pelan. Semua santri pernah merasakan kesedihan saat jauh dari keluarga.”
Tangis santri sekaligus siswi kelas dua SMA itu pecah. Tangannya mengepal, dan juga bergetar. Zid yang melihat itu segera mendekat dan menggenggam kepalan tangan santrinya itu.
“A-apakah … s-saya boleh di sini saja?” Zid diam sejenak, mencoba memahami pertanyaan Bunga. “Saatpesantren libur, apakah saya boleh tetap di sini?” tanya Bunga lagi.
Zid mengangguk pasti. Meski begitu, keningnya pun berkerut. Biasanya santri baru sangat ingin cepat libur untuk bisa bertemu keluarga, tapi Bunga justru sebaliknya. Sebab tidak ingin terlalu memaksa dan menyudutkan, Zid akhirnya mengangguk lagi dan tersenyum.
“Tentu boleh,” ucap Zid seraya mengelus kepala Bunga. “Kamu boleh tetap di pesantren ini sampai kapan pun, selagi kamu mematuhi peraturan di dalamnya. Saat musim libur, pesantren sepi. Kalau bosan, kamu bisa ke rumah Ustazah Sandra, boleh minta ngaji, atau bisa bantu sedikit-sedikit pekerjaan rumah di sana dan bisa nonton televisi. Mengerti?” Bunga mengangguk.
“Saya malu mengatakan apa yang saya alami, Ning. Boleh saya menulis di kertas saja?” tanya Bunga.
Mendengar usulan anak yang Zid perkirakan berusia tujuh belas tahun, Zid mengangguk antusias. Ia penasaran kenapa santri pindahan ini begitu ingin berada di pesantren lebih lama, tapi Zid pikir gadis itu perlu menenangkan diri.
***
Lamunan perempuan muda terkait santri putri bernama Bunga porak-poranda. Laki-laki yang duduk di seberangnya, setahun lebih tua, memerhatikan tingkah aneh Zid. Kafe baru tempat mereka bertemu kali ini cukup ramai, tapi sayang, Nadiva tidak turut serta.
“Ada yang ganggu pikiranmu?” tanya Raymond. Zid menatap laki-laki itu, lalu mengangguk. “Mau diskusi?”tawarnya.