Zid menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. Jika bisa, Raymond ingin mengusap setidaknya kepala Zid untuk mengurangi beban perempuan muda itu. Namun, ia menyadari batasan yang telah mereka sepakati.
Zid dan Nadiva berguru pada sosok yang sama, yaitu Kiai Zakaria, eyang Zid yang memilih menetap sementara di luar kota. Keduanya memiliki perbedaan preferensi terkait berjabat tangan atau sentuhan kulit dengan lawan jenis.
Nadiva berpangku pada ulama dari Madzhab Hanafi yang memberikan catatan bahwa keharaman berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan berlaku apabila menimbulkan syahwat. Sementara Zid berpangku pada ulama empat mazhab yang sepakat bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis hukumnya haram.
Ulama yang membolehkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan bersandar pada riwayat yang menceritakan bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar ra. Mereka menyimpulkan bahwa penahanan diri Rasulullah SAW dari praktik musafahah bersifat pengecualian yang khusus untuk dirinya sendiri. Sementara ulama yang mengharamkan mendasarkan pandangannya pada keumuman hadits.
Zid pernah menjelaskan tentang hal itu pada Raymond dan juga Clark. Dua laki-laki yang sangat dekat dengan Zid, paham dan menghargai pendapat sahabatnya. Mengingat hal itu, Raymond hanya bisa mengepalkan tangan di bawah meja, sebab tidak tahu harus bagaimana.
Beberapa saat setelah lama menunduk, menemani Zid meluapkan emosi, Raymond akhirnya mendongak. Bersamaan dengan itu, dia melihat Clark dari belakang punggung Zid. Laki-laki jangkung pemilik mata biru dan kulit bersih yang juga sahabatnya menunjuk ponsel. Raymond yang paham isyarat Clark kemudian mengecek benda canggih di atas meja.
“Zid ada masalah?” tanya Clark melalui chat
“Ya. Tentang santri pindahan di pesantrennya.”
Clark tidak membalas. Setelah memesan sesuatu, ia menyeret langkah menghampiri dua orang yang berhadapan di meja nomor sembilan. Nomor favorit Zid.
“Hai, Zid,” sapa Clark. “Kamu mengkhianati Tteokbokki Mami.”
Raymond menautkan bibir atas dan bawahnya, menahan senyum dan tawa. Zid belum juga mengangkat wajah. Dia hanya membalas sapaan Clark masih dengan menutup wajah seperti siswi kanak-kanak.
“Kalau persoalan yang kamu hadapi sangat sulit, nggak ada salahnya cerita ke kami berdua,” tutur Clark.
Zid mengalihkan tangan dari wajahnya. Ditatapnya Clark dan Raymond bergantian. Merasa diragukan, dua laki-laki di hadapan Zid kemudian mengangguk, meyakinkan bahwa mereka bisa diandalkan untuk menjaga rahasia.
“Pertama, tolong jangan kasih tahu yang lain, terutama Faradisa Nadiva.” Clark dan Raymond mengangguk lagi.“Aku ngajak bicara santri baru, tadi pagi, hanya berdua di perpustakaan Buya, jadi belum ada satu pun orang di pesantren yang tahu,” imbuh Zid.
“Kamu bisa pegang janji kami,” ucap Clark. Raymond mengangguk setuju.
“Aku malu karena kalian yang harus dengar ini duluan,” keluh Zid.
“Kenapa? Kamu tahu rahasia besarku yang nggak kuungkap ke siapa pun, bahkan Raymond,” ucap Clark seraya menatap laki-laki di sampingnya.
Raymond membalas tatapan Clark seraya mengerutkan kening, seakan bertanya apa yang tidak kuketahui?
“Kamu juga tahu rahasia besarku yang nggak kukasih tahuke Clark,” balas Raymond tanpa mengalihkan tatapan dari mata laki-laki bermata biru di sampingnya. Clark pun tak kalah heran. Zid terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mulai menceritakan tentang isi surat Bunga.
“Santri pindahan di pesantrenku masih berusia empat belas tahun. Awalnya kukira usianya tujuh belas tahun, tapi ternyata dia anak berprestasi di sekolah sebelumnya, bisa lompat kelas. Itu sebabnya dia sudah duduk di bangku SMA. Tapi …,” ungkap Zid pada akhirnya. Ia berkali-kali mengusap pipi yang dibanjiri bulir bening. “Dia korban nikah paksa, Ray, Clark.”
Dua laki-laki yang mendengar cerita Zid tidak mampu menyembunyikan keterkejutan mereka. Zaman ini? Nikah paksa di usia belia? Keduanya kemudian mengantisipasi reaksi berlebih dari diri mereka sendiri agar tidak menyakiti Zid, seraya menunggu perempuan itu melanjutkan cerita.