“Tolong bayarin tambahan pesananku dulu, ya, Ray,” pinta Zid. “Aku harus cepet-cepet pergi,” imbuhnya. Raymond mengiyakan tanpa banyak bertanya. Namun, tidak dengan Clark.
“What’s wrong?” tanya Clark.
Seraya meraih tas kantornya, Zid menjawab, “Santri baru yang kuceritakan tadi dilarikan ke Klinik Utama dekat pesantren.”
“Tempat Kak Riris praktik?” tanya Clark. Zid mengangguk.
“Kenapa?” tanya Raymond.
“Percobaan bunuh diri,” jawab Zid. Suaranya bergetar. Dua laki-laki di hadapan Zid terperanjat.
“Kami akan bantu memikirkan jalan keluarnya, Zid,” ucap Clark.
Zid mengangguk tanpa mengalihkan fokus pada benda canggih dalam genggamannya.
“Kesehatan dan keselamatan anak itu yang paling penting buatku sekarang. Aku nggak tahu kapan Buya balik, jadi selama pengasuhan pesantren ada di bawah kendaliku, semua jadi tanggung jawabku,” ujarnya.
“Kesehatanmu juga penting untuk dijaga,” timpal Raymond.
Zid menatap dua laki-laki yang telah dia anggap seperti keluarga, dia mengangguk lagi sebelum kemudian berpamitan.
“Mau kami antar?” tanya Clark seketika. Dia terlihat sangat cemas. Begitu pula dengan Raymond. Zid menolak dan berterima kasih. Kedua laki-laki itu kemudian hanya bisa terduduk pasrah.
“Sahabatmu emang keras kepala dan demen bikin orang khawatir,” gerutu Clark setelah bayangan Zid menghilang.
“Sahabatku?” Raymond bergeleng kepala. “Kalau dia lagi menyebalkan, semuanya bilang Zid sahabatku. Kalau dia lagi nyenengin, kalian semua rebutan jadi sahabatnya,” ejek Raymond.
“Kamu pawangnya,” Clark tertawa puas.
Beberapa saat setelah kepergian Zid, ponsel Clark bergetar. Keningnya berkerut. Dirinya pamit pada Raymond, kemudian keluar dengan terburu-buru.
***
Ruang tunggu klinik tampak lengang. Santri-santri yang bergantian menjaga Bunga beberapa jam lalu, Zid minta kembali ke pesantren untuk melanjutkan kegiatan mereka.
Jam dinding berwarna abu-abu, berdiameter 25cm menunjukkan pukul sepuluh malam. Fisik Zid lelah, namun belum ada sedikit pun niat mengayunkan langkah meninggalkan tempat di mana Bunga dirawat. Smartphone-nya berdering. Helaan napas terdengar cukup berat. Ia menuruti saran dua sahabatnya untuk bersikap tenang, akan tetapi nama kontak penelepon yang tertera di layar mengingatkan pada satu kasus lagi.
“Zid, boleh Mami tahu sedikit tentang Helen?” tanya Nyonya Lim setelah mengucap salam.