Royal Club, tempat dimana seseorang yang menjual Helen—bekerja sebagai pramutama bar. Dugaannya benar. Anak di bawah umur yang tampak polos dan baik tapi berpakaian terbuka, serta tubuh yang dipenuhi memar lebam, sangat tidak masuk akal jika disebabkan oleh pertengkaran dengan pacar.
Getar ponsel di saku membuatnya mengerutkan kening. Safara, sahabatnya yang bekerja di Badan Narkotika Nasional.
“Aku udah dapat semua informasi tentang Royal Club. Izin usaha di dinas pariwisata, izin keramaian di kepolisian, dan izin penyediaan minuman beralkohol klub di BNN udah kadaluarsa, Zid. Mungkin pengelola barunya kurang paham mekanisme bidang usaha itu, jadi belum ada pembaruan izin. Aku udah ngusulin surat teguran,” terang Safara dari seberang telepon. Zid bahkan hampir lupa jika telah meminta bantuan sahabatnya.
“Aku curiga ada praktik perdagangan manusia di sini."
“Setahuku tempat itu cuma club biasa. Sering ada inspeksi tanpa jadwal, dan sejauh ini nggak ditemukan pengedar narkoba atau praktik perdagangan manusia,” ungkap Safara.
“Kamu yakin?” cecar Zid.
“Ya. Perempuan yang menuangkan minum untuk para tamu, atau pemandu lagu di ruang karaoke pun dijamin bebas narkoba karena rutin dites. Ketika diwawancara, mereka bekerja karena kemauan sendiri, nggak dipaksa.”
Zid mengerutkan kening. “Aku ketemu salah seorang korban perdagangan yang masih di bawah umur,” ungkap Zid. Tidak ada jawaban. Hanya deru napas yang terdengar di sambungan telepon. Safara sedang berpikir keras memahami ucapan perempuan di seberang telepon.
“Sebentar. Kamu di Royal Club? Sama siapa?” tanya Safara. Dia curiga Zid datang sendiri sebab tidak mendengar suara gaduh Nadiva.
“Malaikat Raqib dan Atid,” celetuk Zid.
“Ya Salam …,” geram Safara. Zid terkikik. “Jangan ke mana-mana. Aku susul ke sana,” pinta Safara, kemudian memutus sambungan telepon tanpa perlu menunggu persetujuan Zid.
Sembari menunggu kedatangan sahabat sealmamater di SMP dan SMA, Zid bersembunyi di balik pohon besar, jarak tiga ratus meter dari club. Pertanyaan-pertanyaan serta informasi yang Safara berikan, perlahan melunturkan kepercayaan Zid akan remaja perempuan yang dirinya titipkan di kediaman Nyonya Lim. Zid mulai meragukan Helen.
Gimana kalau ternyata Helen bohong? pikirnya, yang segera ditepis.
Berkali-kali Zid melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Safara mengatakan butuh waktu lima belas menit dari tempatnya nongkrong untuk sampai di Royal Club. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dikatakan sang sahabat.
Nggak biasanya perkiraan Safara meleset, batin Zid.
“Zid!” teriakan nyaring mengisi pendengaran Zid. Dia lega melihat sang sahabat tergesa-gesa keluar dari mobil Toyota Rush kesayangannya.
“Aku pikir kamu kenapa-kenapa,” ucap Zid seraya memeluk sahabatnya.
“Maaf, aku telat,” sesalnya.