“Kamu di rumah?” tanya Zid.
“Hm,” gumam Clark. “Kututup teleponnya, ya. Sampai jumpa di rumah Mami besok.”
Zid merasa geram. Dipandanginya nama penelepon di layar benda canggih dalam genggamannya. Zid berpikir, seseorang yang memilih tidak beragama dan hidup bebas tanpa aturan halal-haram seperti Clark tidak bisa dihakimi dengan aturan agama pula. Zid geram, sebab permintaan tolong yang menurutnya penting justru diabaikan.
Tak menghiraukan pesan Safara, Zid masuk ke dalam club dan mencari keberadaan Clark. Tanpa disadari, seseorang di balik kemudi sebuah mobil mengamatinya dari kejauhan sedari tadi.
Pandangan Zid mengitari kerumunan orang. Setelah menemukan target yang dituju, dia menghampiri tempat orang itu berada. Pojok ruangan berpenerangan minim, dan tidak terlampau bising.
“Hallo, Clark,” sapa Zid seraya mencolek bahu berbalut jaket kulit berwarna cokelat gelap yang dikenakan sahabat baiknya dari samping. Dari jarak sedekat itu, Zid menangkap aroma Pomade dari rambut Clark yang mengkilap. Clark yang hafal akan suara Zid, seketika menyemburkan minuman yang baru setengah ditenggak. Laki-laki itu terperangah.
“Zid!” pekik Clark. “Astaga. Ini bukan taman bermain.” Laki-laki berkulit pucat di hadapan Zid sangat panik. Mata birunya memancar lebih indah di balik redupnya lampu kelip.
“Aku emang nggak niat main. Ada yang perlu aku lakukan di tempat ini,” ucap Zid datar.
“Nggak boleh. Jangan ke sini. Ikut aku!” titah Laki-laki pemilik mata biru itu menarik lengan baju Zid, mengajaknya keluar.
Keributan di pojok ruangan tak luput dari perhatian banyak orang. Salah satu di antara orang-orang itu bahkan turut mengekori kepergian dua sahabat beda jenis kelamin itu.
“Kita pulang!” Bukan pertanyaan, tapi perintahlah yang keluar dari mulut Clark.
“Apa-apaan? Jangan nyuruh-nyuruh,” sentak Zid. “Aku nggak akan tanya kenapa kamu ada di sini. Itu hakmu. Permintaan tolongku kali ini penting banget, tapi kamu abai.”
“I’m so sorry, Zid,” sesal Clark tulus. “Aku benar-benar perlu waktu untuk diri sendiri.” Tatapan Clark berubah sayu. Raut wajah Zid pun seketika berubah cemas.
“Papamu bikin masalah lagi?” Clark menatap sendu perempuan di hadapannya. Satu-satunya sosok tempat dia berkeluh kesah, serta satu-satunya yang dia beri tahu setiap inci permasalahan dalam hidupnya. Meski masih tetap ada yang ditutupi.
“Pulanglah, Zid,” pinta Clark. Kali ini ucapannya lebih lembut. “Aku takut kamu dalam bahaya kalau terus di sini,” imbuhnya.
Zid menaruh curiga. “Papamu di sini?” tanya Zid.
“Zid,” panggil suara dari sisi dua manusia berbeda jenis kelamin yang tengah bicara serius.
“Safara?” Clark terkejut. Dia tidak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Dirinya merasa seolah tertangkap basah.
“Kenapa kamu di sini, Clark? Kamu bilang ada agenda rekreasi kloter kedua bersama anak magang di JHS Language Center?” Pertanyaan Safara membuat Zid mengangkat sebelah alis. Clark berdehem.
“Kamu bilang begitu sama Safara, sementara sama aku bilang lagi di rumah.” Zid berdecak. “Ucapanmu kayak peselingkuh,” ejek Zid. “Padahal kita semua sahabat. Nggak ada gunanya bohong,” sambungnya seraya memiringkan sebelah bibir.
“Udah, udah. Berantemnya tunda dulu. Aku ada informasi serius, Zid,” ucap Safara. Dia mengajak Zid dan Clark naik mobil dan berniat mengantar Zid pulang.
Sembari menyetir, Safara bertanya, “Laki-laki bernama Demian itu … kamu yakin dia pelakunya?”
“Kalau yakin, aku nggak akan ke sini buat mastiin, Fara.”