Embusan napas lelah menderu di suasana sunyi dalam perpustakaan pribadi keluarga Buya Zakaria yang kedap suara. Deretan kitab kuning di rak bagian atas, disusul buku-buku pengetahuan di bawahnya, menjadi sasaran kekosongan pandangan perempuan berkaos kebesaran bertulis Perempuan adalah ibu kehidupan. Bersandar dan termenung di sofa panjang, terpangku buku bertema perempuan yang dibelinya secara online beberapa hari lalu. Tangan kirinya menahan lembaran halaman agar tidak tertiup angin yang bersumber dari AC, lalu tangan kanan digunakan untuk memegang highlighter.
Kejadian Bunga sudah dua minggu, tapi belum ada perkembangan mengenai kondisinya, apalagi jalan keluarnya, pikir Zid.
Santri pindahan itu masih enggan membuka diri kepada teman-teman pesantren. Kondisi psikisnya pun nampak mengkhawatirkan. Dari sisi psikis, kondisi Helen tidak jauh berbeda. Namun, Helen memiliki bukti visum untuk menjerat pelaku. Remaja bongsor itu pun sudah tidak mengandalkan orang lain untuk mencuci pakaian dan tempat makannya sendiri.
Sebelum pergi mendampingi anak didiknya rekreasi, Clark meminta agar diberi kesempatan mengikuti perkembangan kasus di pesantren Zid. Raymond harus kembali ke Surabaya, dan Nadiva yang sejauh ini belum tahu banyak, hanya bingung melihat perubahan mood Zid setiap saat.
Nadiva masuk perpustakaan beberapa saat lalu. Dia memperhatikan Zid yang sedang melamun. Sepertinya, Zid memang tidak menyadari kehadiran sang sahabat. Nadiva menyeret kursi plastik yang diambilnya dari sudut ruangan, lalu memposisikan diri duduk menghadap Zid.
“Kamu kelihatan nyaman banget hidup sendiri.” Nadiva membuka percakapan. Lamunan Zid buyar. Dia kembali menatap buku di pangkuannya.
“Aku nggak hidup sendiri. Banyak orang di sekelilingku,” kilah Zid santai tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dia baca. “Kalau yang kamu maksud sendiri adalah belum berpendamping atau punya pasangan hidup, itu karena aku pilih jalan ini,” imbuhnya.
Tentu saja. Zid bisa memilih menikah jika dia mau. Tetapi, Nadiva masih tidak paham. Zid memiliki kepribadian yang baik, berpendidikan tinggi, meski dalam karier hukum tidak seberapa bagus, dan secara fisik juga tergolong biasa saja, tapi dia berkarisma, usaha yang digelutinya berkembang pesat, juga hafal Al-Quran meskipun belum khatam 30 juz.
Menurut Nadiva, tidak ada alasan bagi laki-laki manapun untuk menolak Zid yang merupakan sosok nyaris serba bisa.
Sebab belum menikah di usianya yang menurut Nadiva menginjak kepala empat, Zid sering menjadi buah bibir, terutama di kalangan masyarakat sekitar lingkungan pesantren.
Di mata masyarakat yang tidak tahu, sebab Buya Zakaria amat menjaga privasi sang cucu, Zid yang dianggap sebagai putri bungsu Buya Zakaria dari hasil hubungan gelap seringkali digunjing. Mereka kerap mencibir, Zid semestinya memiliki pendamping untuk mengasuh santri-santri sebab Buya Zakaria kerap berkelana.
Mau jadi apa santri-santri diurus oleh perempuan muda yang berambisi pada karier? Kalimat itulah yang kerap Nadiva dengar dari orang-orang. Di kantor hukum tempat Zid bekerja pun, tidak sedikit yang melabelinya perawan tua. Bahkan, dia kerap dianggap tidak sadar diri.
Zid terlalu menerapkan standar tinggi. Untuk ukuran wajahnya yang biasa saja, dia lebih terkesan tidak tahu diri, cibir yang lain.
Apesnya, Nadivalah yang menjadi salah satu sahabat paling cerewet dan sangat pandai menirukan beberapa penggalan percakapan yang dengan sengaja menyindir status lajang Zid.
“Kamu nggak tersinggung? Mereka terang-terangan hina kamu, lho,” ucap Nadiva kali ini.
“Aku nggak wajib peduli, kan?”