Melihat Zid yang terburu-buru mengambil ponsel dari saku blazer, Vika merasa heran. Diamatinya benda canggih dalam genggaman perempuan yang dia panggil kakak tersebut. Kening Vika berkerut saat tahu Zid membuka internet untuk meneliti berita yang beredar.
Setelah menutup laman pencarian internet, Zid lantas turun ke lantai dasar, menjauhi orang-orang yang dikenal agar bisa menghubungi kakaknya dengan tenang. Dari dasar tangga, Zid, rupanya televisi di restoran juga menayangkan berita yang sama. Samar-samar, Zid mendengar obrolan dari beberapa pengunjung.
“Putra tokoh agama sekarang ini susah banget dipercaya,” ucap salah seorang pengunjung.
“Benar. Kebanyakan mereka jual nama orang tua untuk dapetin kesenangan,” sambung pengunjung lain.
“Baru-baru ini, Ustadz di lingkunganku merenggut kesucian anak di bawah umur. Tapi nggak ada hukuman apa pun untuk pelaku. Bahkan, cuma diselesaikan dengan jalan damai. Entah karena si pelaku ini Ustadz, jadi masyarakat menempuh jalur damai supaya nggak mencoreng agamanya, atau memang pengetahuan keluarga korban tentang trauma kekerasan seksual.”
“Wah. Ngeri juga, ya. Kita harus bener-bener melek sama issue ini.”
“Kalau Gus Yazid ini, bisa jadi aktris itu duluan yang godain. Siapa yang tahu isi hati orang? Sekarang kan lagi musim wanita murahan berbalut penutup kepala,” timpal yang lain. Tak sedikit di antara mereka yang lantang membahas hal-hal yang menurut Zid sangat personal.
“Kalian melek issue kekerasan dan pelecehan seksual, tapi juga berspekulasi ke sesama perempuan, padahal baru lihat di berita, belum tahu fakta,” cibir pengunjung lain yang sejak tadi diam.
Remaja era digital sangat pandai mencari informasi, batin Zid.
Zid berlari tergesa-gesa masuk ke dalam mobilnya di tempat parkir, kemudian mencari kontak dan menekan tombol panggil.
“Assalamu alaikum. Mas Yazid, udah lihat infotainment hari ini?" tanya Zid mengintimidasi.
“Belum. Ada apa, Zid?” tanya Gus Yazid bingung.
“Lihat sendiri.”
“Sebentar.”
Hening. Hanya deru napas yang terdengar dari sambungan telepon.
“Sudah?” cecar Zid. “Mas tokoh agama yang sering muncul di televisi, putra Kiai Besar yang dakwahnya sampai mancanegara. Kok bisa, Mas Yazid seceroboh itu? Ngapain ketemu jamaah di luar pesantren cuma berdua? Kalo istrinya dan keluarga besarnya di Jawa Timur lihat ini bagaimana nanti? Terus karier aktris mualaf itu pasti kena imbasnya. Bisa jadi dia akan dilabeli sebagai perempuan pengganggu rumah tangga orang.” Zid berucap tegas seperti biasanya. Napasnya tak beraturan. Dia sangat marah.