Titik Minus

Lulu el Ulum
Chapter #16

Restoran Nyonya Lim #16

Keheningan menyelimuti ruang santai. Zid, Clark, Erika, dan Helen masih berdiri, bertahan dengan diamnya. Tidak ada yang berani bergerak selagi tatapan tajam perempuan berbalut blazer hitam, dan rok berbahan dasar sarung motif batik Lasem itu masih menghujani laki-laki berjaket jeans denim, kaos putih, dan celana jins hitam. Bahkan, dering ponsel bersumber dari saku jaket yang dikenakan Clark dibiarkan begitu saja.

“Erika, tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta Zid. “Tolong ajak Beatrix bantu-bantu di dapur bawah.”

Kali ini, Erika terpaksa menurut. Dua sudut bibirnya turun. Erika berlalu, mencari keberadaan Beatrix. Langkahnya lunglai. Sejujurnya, pemilik rambut sebahu itu ingin sekali menolak permintaan Zid. Membawa Beatrix ke dapur, menurutnya sama saja seperti nahkoda mengizinkan perompak memonopoli kapal. Dia harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan kerapian dapur agar Nyonya Lim tidak marah-marah.

Bayangan sosok Erika berlalu, Zid meminta Clark dan Helen duduk lesehan bersisian, membelakangi televisi dinding yang beberapa saat lalu dipasang Vika, sementara Zid mengambil posisi menghadap keduanya, bersandar pada sofa panjang.

“Kamu salah satu pelanggan Helen. Benar, Clark?”

Clark tertunduk menekuri sisi meja. Helen mendongak, ingin menjawab tapi lambaian dari lima jari Zid mengurungkannya.

“Clark,” panggil Zid.

“Ya,” jawab Clark singkat.

Zid mengangguk ambigu. “Teman-teman hubungi kamu, minta bantuan penting, tapi kamu nyaris selalu bilang sibuk. Sekarang aku tahu kesibukan apa yang kamu maksud,” sindir Zid.

“Aku minta maaf karena sulit dimintai bantuan, tapi soal Helen, kami nggak pernah ngapa-ngapain, Zid. Serius. Benar kan, Helen?” Clark mencari pembelaan.

Helen mengangguk yakin. Zid tahu. Hasil visum dan tes alat kelamin Helen menunjukkan bahwa remaja 16 tahun itu masih gadis. Kalimat terakhir yang dikatakan oleh Clark, rupanya sampai ke telinga Vika. Dia tidak sengaja mencuri dengar di tangga sebab mendapat pesan dari seseorang untuk memanggil Zid. Vika melangkah ragu-ragu menuju ruang santai.

“Kak Zid, mohon maaf menyela. Di bawah ada perempuan berwajah ayu nyariin Kakak. Kulitnya bersih, matanya cokelat, cantiknya khas kayak Beatrix.”

Ciri-cirinya kayak Wardah, batin Zid.

Zid seketika berdiri dan berlalu, meninggalkan semua orang dengan terburu-buru. Clark melongo, sementara Helen bernapas lega.

“Vika, aku ada perlu sebentar. Tolong buatin Vanila Latte, ya,” pinta Clark seraya menekan tombol call di ponselnya. “Helen, kita ngobrol nanti,” ucapnya seraya berlari menuruni tangga.

Vika memiringkan kepalanya ke kanan. Ada apa dengan orang-orang ini? tanya Vika dalam hati. Dia memperhatikan Helen yang menautkan jari-jari kanan dan kirinya seraya menatap kepergian Clark. Disebabkan rasa penasaran, Vika lantas duduk di tempat Zid sebelumnya.

“Helen. Beneran kamu sama Clark nggak pernah ngapa-ngapain?” Gadis yang ditanya menjawab dengan anggukan. “Terus, apa hubungan kalian?” tanya Vika lagi, penasaran.

“Clark memang bayar jasaku, tapi untuk teman cerita,” jawab Helen jujur.

“Kamu masih SMA, kenapa panggil Clark cuma nama aja?”

“Clark nggak mau dipanggil kakak,” jawab Helen. “Kak Vika juga. Kenapa panggil kak Beatrix cuma nama aja?” Helen balas bertanya.

Vika berdeham. “Di sini mayoritas anak blasteran nolak dipanggil kakak, termasuk Beatrix dan Clark,” gumam Vika. Helen mengangguk.

“Ngomong-ngomong, kamu sama Clark kayaknya deket banget. Apa dia pernah cerita tentang orang yang dia sukai juga?” tanya Vika lagi. Helen mengangguk.

Vika semakin penasaran. “Apa orang itu kak Zid?”

***

Mata Vika meneliti gerak-gerik Beatrix. Dokter gigi dengan ciri khas rambut keriting dicepol itu agaknya berusaha profesional. Kali ini dapur terlihat normal. Beatrix yang alergi segala merek cairan pencuci piring, membungkus tangannya dengan sarung tangan lateks dua lapis demi menjaga kerapian dapur restoran.

Lihat selengkapnya