Titik Nadir

Syafaa Dewi
Chapter #2

KITA YANG SEKARANG

__________

Malam hari di salah satu rooftop bar ternama di Jakarta…

“Lagi lihatin apa, San? Kok melamun mulu dari tadi? Mata kamu juga berkaca-kaca.”

“Ah, tidak. Aku hanya sedang melihat anak-anak kecil di sosmed, nih.”

Della melihat ke ponsel Irsan. “Oh... Memangnya kenapa?”

Irsan menghela nafas, “Hhaaahh…” Kemudian, dia menyandarkan bahunya di pundak kursi sembari menatap ke arah langit, melihat bintang-bintang. “Memangnya kamu tidak ingat apa yang kita alami dulu?”

Della bertanya-tanya. “Hah?”

“Satu… Dua… Tiga… Tujuh belas… Lima puluh… Seratus… Sejuta…” Jari telunjuk Irsan mengarah ke atas. “Kamu tahu gak sih, ada berapa jumlah bintang di langit?”

Della hanya menaikkan kedua bahunya, merasa aneh dengan tingkah Irsan.

“Iya, aku juga tidak tahu. Aku hanya bisa memandangi mereka. Namun, andai saat itu aku tak punya keberanian, mungkin aku tidak bisa melihat bintangku sekarang.”

“Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku gak ngerti.”

“Del, setiap dari kita pasti akan merasakan fase ‘kegelapan’ dalam hidup. Hanya saja, sedikit dari kita yang mau ke luar dari fase itu dan malah merasa nyaman di sana. Kau tahu, bintang butuh gelap agar dapat bersinar, tapi manusia butuh harap agar dapat maju.”

Della mulai paham ke mana arah bicara Irsan, “Bintang dapat bersinar karena mereka memang sudah memiliki cahayanya sendiri, San. Kalau kita…”

“… Dari kepercayaan orang-orang yang ada di sekitar kita.”

Della terdiam. “Lalu, apa hubungannya dengan anak-anak itu?”

Irsan memperbaiki posisi duduknya, kemudian ia kembali menoleh ke ponselnya, melihat anak-anak yang masih terluntang-lantung di lampu merah sudut kota, “Aku tahu mereka masih anak-anak. Dan di usia mereka yang masih sangat muda seperti itu, mereka sudah harus mencari rupiah untuk bertahan hidup. Dan… Seperti yang kubilang tadi, sinar bintang adalah cahayanya sendiri, sedangkan, kepercayaan adalah cahayanya manusia. Andai anak-anak itu diberi kepercayaan oleh ‘orang kaya’ yang dapat menaungi pendidikan mereka, pasti mereka gak harus berdiri di sana, meminta-minta dengan harapan yang tidak pasti apakah akan diberi atau malah diabaikan begitu saja.”

“Haha… Mana ada orang yang mau terlibat apalagi memberi ‘cahaya’ cuma-cuma pada orang lain.”

“Ada. Jika mereka yakin dan percaya kalau setiap anak punya potensinya masing-masing.”

Della hanya diam. Irsan melanjutkan, “Ada begitu banyak bintang di langit yang tak terhitung jumlahnya, juga ada begitu banyak ikan di laut yang takkan pernah punah keberadaannya. Andai kita mampu memberikan satu saja bintang atau ikan kepada orang lain, itu tidak akan merubah apa yang terjadi di langit atau di laut, kan?”

“Hei, pembahasanmu berat sekali. Aku lagi malas berpikir.” Decak Della.

“Aku tidak memintamu untuk berpikir. Aku hanya ingin kau tahu bahwa dengan kita memberi sedikit apa yang kita punya, itu takkan merubah apa yang sudah kita miliki.”

“Aku tidak paham. Apa kau sedang berkaca pada masa lalumu?”

Sorot mata Irsan menoleh ke arah Della. Ia tersenyum tipis, “Masa lalu? Bukan. Aku lebih senang menyebutnya 'proses'. Bukan hanya prosesku, tapi juga prosesmu dan Nadin.”

“Ah…”

“Kita sama-sama pernah di posisi mereka, kan?” Irsan kembali melihat ke ponselnya. “… Sama-sama pernah berdiri di kaki sendiri tanpa adanya harapan yang seolah pasti. Bahkan, keluarga sendiri hanya bisa mendiami, tak memberi kita sedikit saja kepercayaan yang mereka punya untuk menjadikan kita langit agar mereka dapat menyinari.”

Della hanya diam.

Lihat selengkapnya