Titik Nadir

Syafaa Dewi
Chapter #3

KUINGIN

10 tahun yang lalu...

__________

Betapa kita selalu menginginkan tempat dimana kita bisa melihat dunia lebih luas. Suasana yang berbeda dari biasanya, ataupun langkah kaki yang bergerak lebih cepat dari biasanya, mungkin adalah situasi yang selalu diimpikan kebanyakan orang. Kesibukan yang terorganisir, debat ilmiah yang membakar ambisi, serta kompetisi berkelas yang menuntut prestasi, tidak semua orang mampu mengalaminya.

Namun, kehadiran orang tua dan melihat raut wajah bahagia yang terlukis di wajah mereka, nyatanya mampu membuat semangat untuk meraih sukses kian bertambah. Hanya saja, jika salah satunya hilang, apakah semangat itu masih ada dan terus membara?

“Nad, Bapak meninggal.”

DEG!

Tidak mungkin. Seakan waktu berhenti berputar. Nadin terdiam.

TING! Pesan masuk.

Angkat teleponnya. Kakak mau bicara, penting.

Nadin melihat kondisi sekitar. Sedang ramai orang di sana. Mereka sedang khusyu’ mendengar ayat al-Qur’an yang sedang dibacakan. Nadin sedang berada di perlombaan MTQ tingkat kota. Dia yang sedari tadi fokus pada handphone di dalam tasnya, mendadak dilirik oleh para juri. Ia paham maksudnya. Dilarang mengaktifkan handphone saat perlombaan berlangsung.

Bagaimana ini?

DRTTT DRTTT. Ponselnya berbunyi.

Aku harus mengangkatnya.

Tanpa permisi, Nadin langsung keluar dari ruangan dan mengangkat telepon yang sedari tadi berbunyi.

Unknown number. Siapa ini? “Ha-halo…” Suaranya bergetar.

“Nad, Bapak meninggal gara-gara apa?”

“A-APA? B-BAPAK MENINGGAL?! INI SIAPA?!”

“Lho, ini Pamanmu yang di Binjai. Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau Bapakmu meninggal?”

“N-Nadin sedang di luar rumah, Paman. Nadin tidak tahu kalau Bapak meninggal. J-jadi, B-Bapak benar-benar meninggal???” Seolah tidak yakin, Nadin bertanya untuk kembali memastikan.

“I-Iya, ini Paman sedang menuju ke rumahmu. Berita ini mendadak, Paman…”

TIT… TIT… TIT… Telepon terputus.

Nadin kembali memasuki ruang perlombaan. Dia bergegas menyusun barang-barangnya dan segera menemui juri.

Dengan air mata yang coba ia bendung dan suara yang sesenggukan, ia meminta izin untuk pulang, “Bu, maaf, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan perlombaan ini.”

Raut wajah dan air muka Nadin tidak karuan, juri bertanya-tanya, “A-ada apa, Nak? Mengapa kamu seperti ini? Apa yang terjadi?”

Nadin menundukkan kepalanya, “Hiks… Hiks… Bapak saya meninggal, Bu. Saya harus pulang sekarang.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Kalau begitu, mari kami do’akan bersama-sama dengan peserta yang lain. Duduklah, Nak…” Pinta juri itu. Mereka pun melantunkan do’a untuk kepergian Amir – Bapak Nadin.

Setelah itu, Nadin menghampiri guru agama yang membawanya, “Bu, saya harus pulang sekarang.”

“Ada apa, Nad?”

“Bapak saya meninggal.”

“K-kamu serius?!”

Lihat selengkapnya