Titik Nadir

Syafaa Dewi
Chapter #4

MAAF

Andai kemarin aku tidak pergi mengikuti lomba. Pasti aku bisa bertemu Bapak di waktu-waktu terakhirnya. Ya Allah… Maaf jika aku menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Setidaknya aku masih ingat bagaimana senyumnya melepasku pergi pagi tadi.

Flashback on

“Pak, Nadin berangkat dulu, ya. Do’ain Nadin semoga menang lomba MTQ-nya.” Kata Nadin sembari mencium punggung tangan Amir saat hendak pergi.

“Iya, pasti Bapak do’akan. Uhuk!!! Uhuk!!!”

“Bapak baik-baik saja?”

“Tidak tahu, nih. Dada Bapak rasanya sesak sekali. Mungkin masuk angin biasa.”

“Hmmm… Nadin bilang juga apa… Jangan suka ndak pakai baju kalau malam hari. Jadi masuk angin, kan.”

“UHUK!!! UHUK!!! Anak wedok Bapak ini cerewet sekali, ya.”

“Tapi biasanya Bapak gak pernah seperti ini, deh. Nadin taruh minyak angin, ya?”

“Tidak… Tidak… Kamu pergi saja. Sudah pakaian rapi, cantik dan wangi begini masa mau naruh minyak angin. Tidak apa, wes… Nanti Bapak minta tolong Mama. Kamu pergilah. Diantar Kak Dafa, kan?”

Nadin hanya mengangguk. Perasaannya sungguh tidak enak saat itu. Namun, senyum di wajah Amir mampu membuatnya kembali memfokuskan diri pada perlombaan. Kemudian, “Ya sudah, Nadin berangkat dulu ya, Pak. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

“Dafa juga sekalian pergi kerja ya, Pak. Bapak sama Mama baik-baik, ya.” Setelah itu Dafa menoleh ke dapur dan berteriak, “Ma… Kalau ada apa-apa langsung hubungi Dafa, ya.”

“Iya.” Sahut Wina.

Flashback off.

Dan, ya. Firasatku tak pernah meleset. Batin Nadin yang tersadar dari lamunan.

Wanita itu sedang duduk di teras rumah menikmati udara segar. Sesekali ia merasa sepi karena Sang Cinta Pertamanya sudah lebih dulu pergi.

Biasanya pagi hari seperti ini Bapak baru pulang dari jalan pagi. Rasanya sunyi ketika yang biasa terlihat, kini takkan pernah ada lagi.

“Hei! Lagi ngelamunin apa?” Tanya Dafa yang tiba-tiba muncul sembari menepuk pundak Nadin dan ikut duduk di bangku teras dengan segelas teh di tangannya. “Mau teh?”

“Eh? Ah… Enggak kok, Kak.”

“Rindu sama Bapak, ya?”

Nadin hanya menaikkan kedua bahunya bersamaan.

“Ikhlasin, ya. Kamu kan kuat. Jadi pasti bisa.”

Lihat selengkapnya