Di rooftop…
“Mama?” Nadin mengelap mulutnya dengan tisu. “Terkadang aku tidak tahu bagaimana hati seorang ibu itu seperti apa, ya. Entah mereka pura-pura tegar untuk menutupi kesedihan atau bagaimana, akupun tidak tahu. Yang jelas, seminggu bahkan tiga hari setelah kematian Bapak, Mama tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Seolah tidak ada yang hilang, seolah Bapak masih hidup. Masakannya tetap enak, kadang di pagi hari dia selalu bersenandung kecil saat masak, yaaaa… Seperti tidak ada yang berubah.”
Irsan dan Della terkejut.
“… Mungkin saat itu aku belum terlalu dewasa. Wajar, aku masih penjajakan menuju remaja kala itu. Mungkin Mama gak mau bikin aku merasa terbebani atas kesedihannya. Makanya Mama menutupi itu dengan sangat rapat. Padahal, beberapa kali aku sering melihat Mama melamun menatap keluar jendela. Mungkin rindu sama Bapak, tapi Mama selalu berpura-pura baik-baik saja. Padahal, mau bagaimanapun, hati wanita tetap saja rapuh. Ya, kan?”
Irsan dan Della mengangguk. Nadin melanjutkan makan.
“Eh, tapi, saat SMA kita berpisah kan, ya? Aku tahu kalau kamu masuk SMK negeri, Nad. Kalau Irsan, aku tidak tahu kabarnya. Soalnya nih anak pas SMP kalem banget gak, sih?” Ejek Della.
“Hahahaha… Iya, sama. Aku juga tidak tahu bagaimana kabar Irsan sejak kita lulus SMP. Sama sepertimu, aku juga mengenalnya sebagai lelaki yang kalem.”
Wajah Irsan memerah.
“Dih, kenapa, lo? Sok blushy gitu hahaha…” Ejek Della sembari melihat ke arah Irsan yang sedang melihat ke arah lain, malu.
“Kok aku geli, ya? Hahaha…” Tambah Nadin.
“Sebenarnya aku seperti itu karena menyesuaikan diri dengan keadaan. Saat SMP, aku memang bukan orang yang mudah bergaul dan gampang akrab. Namun, saat SMA semua itu perlahan surut. Ditambah pelajaran hidup yang kualami, semakin membuatku merasa bahwa ternyata dunia itu kejam. Dan siapa sangka, aku bisa duduk di tempat mahal seperti ini sekarang.” Jelas Irsan.
“Iya, bener sih. Hidup menempah kita agar berani untuk keluar dari zona nyaman dan menjadi lebih kuat dari biasanya. Aneh sih jika aku mengatakan ini, tapi terkadang cibiran dari orang-orang bahkan keluarga sendiri bisa jadi penyemangat untukku pribadi agar lebih yakin untuk membuktikan bahwa pilihanku juga tepat.” Lanjut Nadin.
Irsan dan Della mengangguk setuju.
“Eh memangnya kamu pernah dicibir sama keluargamu, Nad?” Tanya Irsan.
“Pernah. Saat aku memutuskan untuk tidak kuliah di tempat yang mereka inginkan. Bukan mereka, sih, Kak Dafa. Dia terlalu ambisi membujukku agar masuk sekolah kedinasan.”
“Bukannya enak, ya? Kan kalau sudah lulus, pekerjaannya terjamin, PNS lagi.” Tanya Della.
Nadin kembali meletakkan sendoknya, mengelap mulutnya dengan tisu. “Standar kebahagiaan orang kan beda-beda, Del. Tidak munafiklah tadinya aku juga punya sedikit niat untuk sekolah di sana.”
“Kok pilihan kamu gak jelas gitu, sih?”
“Begini, kalian tahu kan kalau SMK itu ada yang namanya Praktek Kerja Lapangan (PKL)?”