__________
Pagi itu di sebuah instansi pemerintahan…
“Duh, aku telat…” Langkah Nadin terburu-buru menuju lobi kantor. Dengan tas yang cukup berat dan rok praktek yang sedikit ketat, membuatnya tidak leluasa melangkah cepat. “Semoga masih ada waktu.” Katanya sembari melihat arloji di tangannya.
Dari jauh, terlihat Liza – teman sekolahnya – sedang menanti kedatangannya. Terlihat dengan jelas kepalanya menoleh ke segala arah. Hingga…
BRUK!!! “Hhhaaahh… Capek…” Nadin merebahkan tubuhnya di sofa lobi.
“Lama banget, sih? Telat, nih. Tadi salah satu pegawainya sudah mem-briefing kami, lho. Bapak itu tahu kalau ada dari kita yang terlambat. Kamu, sih...” Kata Liza sedikit kesal.
“Ya, gimana… Macet parah. Padahal aku sudah pergi dari pagi banget tahu.” Balas Nadin.
“Iya, tapi kan aku gak enak sama beliau, karena aku yang menjadi penghubung praktek ini.”
“Iya, sorry. Lain kali gak telat, deh.”
“Ehem-ehem…” Suara laki-laki memecah perdebatan mereka. Tidak lain beliau adalah pegawai yang dimaksud Liza.
Nadin dan Liza refleks berdiri.
Lelaki itu melihat Nadin dari bawah ke atas hingga membuatnya tidak nyaman. “A-Ada apa, Pak? A-Apa ada yang salah dengan pakaian saya?” Tanya Nadin, grogi.
“Oh, jadi kamu siswa yang telat? Baru juga hari pertama sudah meninggalkan kesan yang tidak baik. Gimana bisa praktek di sini sampai tiga bulan? Bisa-bisa baru tiga hari saja kamu sudah saya kembalikan ke sekolahmu.”
DEG. Kok seram, sih… Batin Nadin. Diktator.
“M-Maaf, Pak. Saya baru pertama kali ke sini. Saya tidak tahu kalau jalan ke sini itu…”
“Macet? Ya iya. Namanya juga perkotaan. Lain kali kalau kamu telat lagi saya suruh pulang saja, ya.”
Nadin dan Liza hanya diam menunduk.
“Ya sudah, ayo ikut saya. Saya akan membagi apa saja pekerjaan yang harus kalian kerjakan.”
Mereka berdua berjalan mengikuti lelaki itu dari belakang.
SET. Dia berbalik. “Kamu ngapain pakai jaket? Kedinginan? Memangnya kantor ini bersalju?” Ucapnya pada Nadin.
Nadin segera melepas jaketnya. Dik ta tor. Ugh kesal banget!!! Batinnya.
"Pppffttt..." Liza terlihat menahan tawa.
“Heh, ngapain? Kalau mau ketawa ya ketawa aja kaliii…” Bisik Nadin.
“Gak, tuh.” Balas Liza.
...
Kata Kak Dafa harus ninggalin kesan pertama yang baik. Apanya yang baik kalau ada diktator begini.
“Kamu bilangin saya diktator terus ya dari tadi.”
“Eh?” Nadin tertegun. Dia bisa baca pikiran orang?
“Ya, tentu saja bisa.” Jawab lelaki itu.
Mati. Nadin gemetar. Ya Allah ampuni dosaku...
“Aamiin.”
Liza tertawa geli.