“HAHAHAHA….” Nadin tertawa geli. “Kaget ya kamu?”
“Kamu serius soal itu, Nad?”
“Ya, enggaklah. Ya kali…” Nadin merapikan jilbabnya.
“Hmmm… Tapi kalau kamu mau tau, Pak Bram memang belum menikah, padahal umurnya sudah 30-an, lho.”
*Mengghibah*
“Ah. Masa sih?”
“Iya, katanya karena terlalu fokus bekerja sampai tak sempat mencari istri. Padahal nih ya, Pak Bram sudah punya rumah, tabungan yang cukup, kendaraan yang mewah, PNS, ganteng lagi. Kurang apa coba?’
“Kurang iman.” Decak Nadin.
“Hahaha…”
“Kamu dapat semua informasi ini dari mana?”
“Gosip karyawan-karyawan perempuan di sini, lah.”
Nadin hanya diam.
“Kamu gak berminat?”
“Ha? Aku gak ada waktu mikirin cinta-cintaan, Za. Masa depanku masih panjang dan perlu kuraih. Kalau sudah sukses, nanti juga cinta datang sendiri tanpa perlu kukejar.”
“Iya juga. Hmm… Btw Nad, sebenarnya tadi Pak Fahri cuma bercanda bersikap seperti itu padamu.”
“Bercanda apanya? Diktator begitu.” Nadin kesal.
“Serius. Sebelum kamu datang, Pak Fahri sudah bilang duluan padaku untuk mengerjaimu biar kamu tahu rasa karena sudah terlambat di hari pertama.”
“Oh… Jadi gitu… Kamu ikutan juga…”
“M-Maaf. Hahahah… Tapi, Nad, dari sikapmu tadi menunjukkan kalau kamu tertarik dengan Pak Bram, ya?”
“Aku memang selalu grogi kalau di depan cowo ganteng. Suka sih enggak. Cuma kagum.”
“Gak ada bedanya, tuh.”
“Ada lah. Suka itu soal perasaan, kagum itu soal penilaian. Kita kan bisa menilai bagaimana karakteristik seseorang dari wajahnya. Dan melihat wajah Pak Bram, aku dapat mengetahui bahwa beliau orang baik, sopan, dan pekerja keras.”
“Iya, sih. Pak Bram tipikal orang yang diam-diam menghanyutkan.”
“Hu’um. Jadi, kamu jangan salah sangka, ya. Aku mudah kagum, tapi aku tidak mudah jatuh cinta.”
“Siap, Bos.”
“Ya sudah, aku mau kembali ke ruangan.” Kata Nadin.
“Iya, aku tunggu kamu di kantin saat istirahat, ya.” Ajak Liza.
“Hm…”