Titik Nadir

Syafaa Dewi
Chapter #11

MIMPIMU

Kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya berada di satu tempat yang di dalamnya ada orang-orang yang kita sayangi, sekalipun semuanya ada di sana. Ayah, ibu, kakak, adik, mungkin benar kita berada di satu atap yang sama dengan mereka, namun soal rasa, kita tak pernah selalu jadi yang utama.

Memang perdebatan-perdebatan kecil akan selalu ada, rintangan pun tak pernah menyerah untuk selalu memutarbalikkan rasa. Sayangnya, untuk mengatasi masalah, kita lebih cepat berputus asa. Padahal, jika kita lebih berusaha sedikit saja, mungkin semua takkan sia-sia. Tinggal menunggu, kapan waktu yang tepat untuk menjawab keberhasilan yang tertunda.

Semangat, ya! Kita pasti bisa. Meski tidak mudah, tapi, tetaplah tegar meski berdiri di kaki sendiri dengan segudang asa. Semua pasti terbalas jika waktunya tiba. Sabar dan teruslah mencoba. Tidak ada usaha yang tidak ada hasilnya.

Nadin tersenyum setelah menulis tiga paragraf yang berhasil menarik perhatiannya hari ini.

Semua yang terlihat sukar dijalani, ternyata begitu mudah jika telah dimiliki. Tidak peduli seberapa kejam dunia di luar sana, jika kita berada pada keyakinan yang nyata, kita pasti bisa meraih apa yang kita cinta.

Begitu pula Nadin, meski hidupnya memiliki banyak celah dan tak satupun yang mendukung mimpinya untuk menjadi penulis, dia tak berputus asa dan terus mencoba.

"Pak, Nadin telah berhasil menggapai apa yang Nadin impikan." Gumamnya dengan senyum kecil di malam itu.

Flashback on

Di pinggir area pemancingan…

“Nad, kalau kamu sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?”

Nadin kecil berpikir, “Tidak tahu, Pak. Nadin belum ingin jadi apa-apa. Nadin bingung.”

“Ya sudah, tidak apa-apa.” Amir mengelus kepala putrinya. “… Bapak cuma mau bilang, jika kamu sudah mempunyai mimpi yang besar, ikutilah kemana mimpi itu membawamu. Meskipun Mama atau Kak Dafa tidak setuju, tapi jika mimpimu itu membuatmu bahagia dan tidak merugikan orang lain apalagi agama, lanjutkan saja ya, Nak.”

“Um!” Nadin kecil mengangguk dengan telapak tangan yang seolah menggenggam kepastian.

“Terutama Kak Dafa. Kakakmu itu orangnya sangat ambisius. Jika ia menginginkan sesuatu, ia harus mendapatkan itu bagaimanapun caranya. Dan jika ia gagal, harus ada pengganti yang melanjutkan usahanya.”

Nadin kecil seolah tidak menyimak dengan baik, ia fokus pada pancingnya.

Amir melanjutkan dengan tatapan hampa, “… Nak, Bapak tidak tahu apakah nanti Bapak bisa berada di sampingmu agar dapat membelamu darinya atau tidak, tapi, tetaplah kuat ya, Nak? Tetaplah kuat ada tidaknya Bapak di sisimu.”

Nadin kecil tidak mengiyakan, ia antusias ketika pancingnya mulai bergerak. “Pak! Ada ikan!!!”

Amir hanya tersenyum melihat tingkah putrinya itu. “Ayo, tarik!!! Tarik lebih kuaatt!!!” Teriaknya.

“Wuuuaaahhh!!!! Berhasil!!! Pak!!! Nadin berhasil!!! Ini ikan pertama Nadin!!! Yeay!!!!” Teriak Nadin kecil dengan kegirangan.

“Yaaahhh, ikannya kecil, Nak…”

“Gak papa, Nad sudah senang kok, Pak.” Jawab Nadin dengan wajah berseri.

Lihat selengkapnya