Titik Nadir

Syafaa Dewi
Chapter #13

MEMORI MASA LALU - 2

Keadaan terlihat semakin sulit ketika Nadin menyadari bahwa apa yang terlihat indah selama ini, ternyata tidak begitu indah sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Seseorang yang dijadikan sebagai panutan, justru adalah ‘penjahat’ yang sebenarnya.

“SERIUS NAD?!” Teriak Della dan Irsan bersamaan ketika mereka bertiga berkumpul di ruang kerja Nadin di apartemen pagi itu.

“Ya, begitulah.” Kata Nadin, lemas. “Aku juga tidak tahu mengapa rahasia sebesar itu sangat mereka sembunyikan dariku. Dan sayangnya, aku baru mengetahuinya saat umurku 17 tahun. Sedihnya, selama itu pulalah aku merasa hidup yang kujalani hanyalah palsu belaka. Kasih sayang yang kudapat, kebahagiaan yang kurasakan, dan keharmonisan keluarga yang begitu kudambakan, ternyata hanyalah taktik untuk menutupi kebohongan keji yang sebenarnya terjadi. Keluarga yang begitu kusyukuri, mendadak menjadi keluarga yang kuharap takkan pernah ada di muka bumi.” Jelas Nadin.

Della dan Irsan hanya bisa saling tatap, tidak berani berkutik.

***

Malam pun tiba. Rumah sederhana berlampukan obor di halamannya membuat orang-orang yang melihatnya tidak berani mendekat. Rumah itu tampak lebih sunyi dari biasanya.

Nadin sedang di dapur, membuat brownies cokelat untuk dibawa ke kantor besok, sebagai bingkisan karena praktiknya sudah berakhir.

NGUUUNGGG….

Suara mixer memenuhi rumah itu. Aroma cokelat mulai tercium.

“Ummm… Wangi sekali, Nad.” Sahut Wina yang tiba-tiba datang menemui Nadin.

“Eh, Mama. Begitukah?”

“Iya, sepertinya sudah bisa nih anak Mama buka toko kue.”

“Hahaha… Semoga saja, suatu saat nanti, Ma.” Kata Nadin dengan senyum tipis. “Kak Dafa belum pulang, Ma?”

“Belum. Mama juga tidak tahu dia pergi ke mana. Hari ini dia tidak pergi bekerja, karena Mama memintanya untuk mencarimu.”

“Oh, begitu.” Sambil memixer adonan, Nadin memberanikan diri untuk bertanya, “Ma, kapan Mama siap menceritakannya pada Nadin?”

Raut wajah Wina berubah murung. Apa ini waktu yang tepat? Batinnya. “Mama…”

“Masa lalu sepahit apapun itu, jika kita keluarga, haruslah saling terbuka, Ma. Nadin bukan anak kecil lagi. Nadin sudah dewasa dan tentu saja sudah pasti bisa menerima keadaan yang sebenarnya.”

“Mama tidak yakin kamu bisa. Mama takut kamu akan membenci Mama dan almarhum Bapak jika nantinya kamu tahu cerita yang sebenarnya.”

“Bagaimana mungkin Nadin bisa membenci sesuatu yang sangat berharga dalam hidup Nadin? Mau bagaimanapun juga, Mama tetap Mama Nadin, dan Bapak tetap Bapak Nadin, apapun yang terjadi.”

Wina hanya diam.

“Ma, kalau menunggu kesiapan hati Mama untuk menceritakannya kembali, Nad rasa itu tidak akan pernah terjadi. Karena, yang namanya memori, mau dikubur sedalam apapun, tetap saja akan selalu ada celah yang membuatnya terlihat dan terkenang.” Nadin mematikan mixernya, memasukkan bahan-bahan lainnya, kemudian memanggang browniesnya di oven. Ia bersiap duduk, memegang tangan ibunya dengan sungguh, “Mama tenang saja, Nad selalu siap apapun cerita yang akan Mama utarakan.”

Mata Wina berbinar, menahan air mata. Ia tak kuasa jika harus kembali membongkar masa lalu yang membuatnya hampir gila itu.

TOK TOK TOK…

Lihat selengkapnya