Malam yang tadinya sunyi, mendadak menjadi malam yang paling mencengkam bagi Nadin. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut ibunya membuatnya tidak percaya.
“M-Mana mungkin.” Tepis Nadin. “K-Kak Dafa pembunuh? S-Siapa korbannya?” Suara Nadin bergetar. Tatapannya tertuju pada Dafa.
“A-Apa yang Mama katakan?” Dafa panik. “Dafa tidak pernah membunuh siapapun. Itu murni hanya kecelakaan saja. Sudah takdirnya Rafa meninggal, Ma.”
“S-Siapa Rafa?” Tidak ada yang menjawab. “Ma? Siapa? Bicara, Ma.”
Sambil menangis, Wina menjawab dengan sesenggukan, “Rafa, dia kakakmu. Saudara kembar Dafa, Nad. Hiks… Hiks…”
“A-APA??!” Nadin kembali terkejut. “Nad punya dua orang kakak?”
“I-Iya. Dia meninggal saat Mama baru mengandungmu tiga bulan.”
“Kak? Apa itu benar?”
Dafa hanya diam.
“KAK?!” Bentak Nadin.
Dafa tetap diam. Ia memalingkan wajahnya dari Nadin.
“DAFA!!!”
“IYA! PUAS! KAKAK PENYEBAB RAFA MENINGGAL. PUAS KAMU?!” Balas Dafa. Ia menangis. “Tapi ini semua tidak seperti yang kamu pikir. Kakak hanya mencoba menjadi kakak yang baik untuk kalian. Hiks…”
Suasananya sunyi sesaat. Kemudian, “Bisakah kita bicarakan ini baik-baik tanpa emosi? Nad benar-benar butuh penjelasan yang rinci atas ini semua. Nad benar-benar tidak bisa mencerna semuanya dengan baik.” Pinta Nadin.
Dafa dan Wina hanya diam.
“Tolong…”
Mereka pun duduk di sofa bersama-sama. Sembari memperbaiki raut wajah yang tidak karuan, Nadin memulai obrolan, “Nad minta Mama menjelaskan semua yang terjadi di masa lalu tanpa terkecuali.”
“Hhaaahh…” Wina menghela nafas dan menghapus air matanya. “Semuanya terjadi sekitar 25 tahun yang lalu. Saat itu kamu masih ada di kandungan Mama. Dafa dan Rafa sudah menginjak bangku SMA. Tidak seperti Dafa yang pintar belajar, Rafa lebih suka praktik dan membenci belajar. Ia lebih senang bermain dengan mesin. Andai dulu Mama dan Bapak memasukkannya ke SMK otomotif, dia pasti akan lebih mudah dan punya tempat yang pantas untuk mengasah skillnya…”