Nadin menatap ibunya dengan tatapan kosong, "Mama tahu tidak? Terkadang Nadin lebih menyukai bermimpi dan tidak ingin bangun dari tidur dalam waktu yang sangat lama. Kenapa? Karena di sana tidak ada yang akan menyakiti Nadin. Kalaupun ada, mungkin takkan seperih ini." Mata Nadin berbinar, siap untuk menjatuhkan air dari pelupuk matanya.
Wina dan Dafa hanya diam.
"... Nad menilai orang lain dari perbuatan, Ma, bukan ucapan. Dan di dalam mimpi, perbuatan seseorang lebih utama dan selalu lebih baik dalam memperlakukan Nadin. Tapi di dunia nyata, perbuatan dan ucapan tak ada bedanya, semua palsu dan sama saja busuknya. Nad sampai bingung harus bagaimana. Di saat orang lain sudah mampu memutuskan, Nad masih saja bingung untuk memilih. Haha..."
Malam yang tadinya sunyi, sontak mendadak ricuh ketika tercium aroma gosong dari dapur. Ya ampun! Browniesku! Nadin segera berlari ke dapur.
Gosong… Ia mengeluarkan browniesnya dari oven dan meletakkannya di meja. Tanpa menggubris Wina dan Dafa yang masih terdiam kaku diliputi kesedihan, ia langsung masuk ke kamar dan mencoba mendamaikan suasana hatinya.
DRRTTT… DRRTTT… Ponselnya bergetar. Tanda ada pesan masuk.
9 pesan masuk? Dari siapa?
Liza.
Kebetulan sekali. Apa lebih baik aku ke luar sekarang dan menemui Liza? Lagipula, hatiku terasa sesak jika terus di sini. Browniesku juga gagal. Sekalian saja aku beli di toko. Batin Nadin.
Dia mengetik…
Nadin pun bersiap ke luar rumah dengan pakaian seadanya. Cardi abu tua, rok putih polos, dengan pasmina hitam siap menjadi outfitnya malam itu.
“Kamu mau ke mana, Nad?” Tanya Dafa.
Tanpa melihat wajah Dafa, Nadin menjawab, "Nad mau ke luar sebentar.”
“Sudah malam. Tidak baik bagi wanita untuk ke luar rumah malam-malam begini.”
“Oh, begitu? Lalu, bagaimana dengan rahasia? Keluarga tidak boleh menyimpan rahasia apapun dari anggota keluarganya yang lain meskipun itu demi kebaikan.” Jawab Nadin dengan ekspresi wajah datar dan ia pun bergegas pergi.
Dafa hanya diam, begitu juga dengan Wina yang sejak tadi masih menangis.
…
Di toko kue, Nadin dan Liza bertemu. Mereka duduk di salah satu meja di pinggir jendela. Toko kue itu tidak hanya menjual kue saja, namun merangkup sebagai cafe juga. Malam itu cerah dan ramai. Banyak orang berlalu lalang karena tempat mereka bertemu cukup strategis. Namun, suasana di meja itu masih canggung sejak sepuluh menit terakhir.
Nadin hanya menoleh ke luar jendela, sementara Liza pun enggan memulai cerita.
“Jika tidak ada yang mau kamu bicarakan, aku pulang saja.” Kata Nadin yang hendak berdiri dengan sekotak brownies di tangannya.
Liza tertegun, “T-Tunggu, Nad. Aku bahkan belum bicara apapun.”
“Ayo cepatlah. Aku sibuk.”