Apakah masih ada waktuku untuk menjadi kebanggaan untuk keluarga? Sedangkan kehadiranku saja seolah tak pernah dihiraukan. Nadin melihat ke langit, Nad tidak tahu harus bagaimana sekarang, Pak. Nad benar-benar buntu. Batin Nadin yang terduduk di taman kantor saat jam istirahat.
“Woi, Nad!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan.
Nadin melihat ke arah sumber suara. “Oh, Liza. Ada apa?”
“Pak Bram nyariin kamu.”
“Eh? Kenapa?”
“Gak tahu, tuh. Temui saja sana. Beliau ada di ruangannya.”
Oh, beliau gak istirahat…
“Oke. Aku ke sana dulu.” Nadin pun pergi menemui Pak Bram di ruangannya. Dengan perasaan gugup, ia mencoba melihat kondisi sekitar. Tidak ada orang. Oh iya, ini jam istirahat. Pantas saja.
“Permisi, Pak…” Nadin melangkah pelan.
“Eh, iya. Nadin. Silahkan duduk.”
Nadin duduk bersebelahan dengan Bram. “Ada apa ya, Pak?”
Bram melihat Nadin sejenak, kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya. “Hari ini adalah hari terakhir kamu PKL di sini, kan?”
“I-Iya, Pak.”
Bram menghela nafas, “Hhhaaahh…” Kemudian dia memberikan sebuah kotak kado kepada Nadin. “Ini untukmu. Anggap saja hadiah kenang-kenangan dari saya.
“Untuk saya, Pak?” Nadin merasa heran.
“Iya, tapi kamu bukanya di rumah saja, ya.” Pinta Bram.
“B-Baik, Pak. T-Terimakasih banyak.” Nadin menerima kotak itu dengan ragu. Bram justru terlihat grogi. “K-Kalau tidak ada lagi, bolehkah saya permisi, Pak?”
“O-Oh, iya. Silahkan. Maaf mengganggu waktu makan siangmu.”
Nadin hanya mengangguk. Ada apa dengan Pak Bram? Saat hari pertama, aku yang grogi. Eh di hari terakhir dia yang justru salah tingkah. Aneh. Batin Nadin yang sedang jalan menuju kantin setelah ia menyimpan hadiah pemberian Bram di tasnya.
…
Sore pun tiba…