Huru-hara terjadi, gas air mata bertebaran dimana-mana, suasana malam mencekam. Dingin malam tak terasa, yang ada keringat menetes, bersamaan dengan darah yang mengucur dari kepala. Ada yang berteriak, berlarian, terjatuh, dipukuli, pingsan, juga suara tembakan memenuhi langit, hening, meredam nyanyian Darah Juang yang sedari tadi menggema, mengerikan. Tangisan, kemarahan, kesedihan, kekejaman seolah bunbu yang di campur dalam satu wajan.
“Bagaimana? Bagaimana ini?” tanya Haikal pada Santani, barisan telah bubar, tak ada lagi, masing-masing sibuk menyelamatkan diri sendiri.
“Hey kemari!” teriakan Dilla memanggil mereka berdua yang kebingungan ke mana harus pergi menyelamatkan diri, sebab jalanan sudah di kepung, bukan hanya dengan kumpulan orang-orang berseragam, tetapi kendaraan-kendaraan perang juga siap menghanguskan orang-orang yang terkepung. Entah ini kericuhan, atau perperangan, yang jelas sangat mengerikan.
Mereka berlari, sedikit ada celah tanpa penjagaan, melewati gang-gang gelap gulita, ternyata sudah ada orang lain yang berhasil menyelamatkan diri lewat gang itu, dengan kondisi kepala masih mengalir darah. Berlari sempoyongan.
“Mari aku bantu,” Haikal merangkul lelaki itu, almamater kampus berlumuran darah. Lelaki itu mengangguk lemah, Santani pun ikut merangkul agar langkah mereka cepat, agar tak tertangkap, juga ingin memberi pengobatan pada lelaki itu secepatnya.
“Berhenti!” teriakan kejam terdengar jauh di belakang mereka, diikuti tembakan ke langit. Rupanya gelap malam tak sempurna menyembunyikan mereka.
“Lewat sini,” perintah Dilla agar mereka mengikutinya, belok ke arah kiri, dengan ketakutan begitu erat menyelimuti. Langkah kaki cepat lelaki penembak terdengar nyaring di gang sempit itu.
“Turun,” perintah Dilla lagi agar mereka turun ke selokan, bersembunyi di bawah got busuk dan menjijikkan. Semua tak menjawab, hanya mengikuti perintah. Menahan bau got yang begitu menyengat, menyesakkan dada, juga menahan napas terengah sebab kelelahan, ditambah lumpur di kaki mereka yang gemetaran.