Titik Nol

David Daniel
Chapter #1

Chapter 1: Datang dari Rasa

“Gua udah tunggu di depan ya.”

“Lah, udah di depan lagi? Perasaan belum lama telepon tadi.”

“Iya, tadi gua telepon itu udah siap, tinggal berangkat. Lagian rumah gua ke rumah lu cuma lima menit nyampe.”

“Ya, udah deh. Bentar, gua ganti baju dulu. Tunggu.”

Begitulah percakapan yang terjadi lewat telepon antara Deri dan Fina siang itu. Deri terkadang memang suka “menculik” teman. Dia mengajak dan tiba-tiba saja sudah di depan rumah.

“Ini emang sekarang mau kemana?” tanya Fina.

“Udah pokoknya lu ikut aja. Kita nanti bakal barengan yang lain juga. Jemput Eka, Yesi ama Darma. Mereka udah kumpul di tempat biasa,” jawab Deri.

“Oh.. oke. Bakal sampai malam lagi ini mah..” reaksi Fina mendengar kata-kata Deri.

Deri hanya tersenyum. Bisa dibilang mereka sering menghabiskan waktu bersama saat akhir minggu. Biasanya Deri akan menjemput Fina, karena rumahnya paling dekat. Sedangkan Eka, Yesi, dan Darma akan dijemput di tempat janjian. Setelahnya akan pergi bersama dengan mobil Deri. Kegiatan yang dilakukan macam-macam, dari makan di tempat nongkrong dan jalan-jalan sekadar untuk melihat-lihat.

“Oi, kemana nih kita?” tanya Eka sambil masuk ke mobil.

“Belum tahu. Pada ide nggak?” jawab Deri

“Kayaknya ngebakso enak juga. Lumayan lagi kepengen,” Fina menyahut

“Ya udah. Kebetulan gua tahu tempat makan bakso yang enak,” Deri menjawab

Mereka akhirnya pergi ke rumah makan yang menjual macam-macam bakso, termasuk bakso kekinian (yang isinya pakai macam-macam). Mereka segera memesan dan makan.

Tiba-tiba Deri bersuara “Ka.. Eka..”

“Ehm… apa Deri?”

“Inget nggak? Pas kemaren ini kita badminton.”

“Iya, kenapa gitu?” Eka balik bertanya.

“Nah, kapan kita badminton di situ lagi?” ujar Deri.

“Ya, nantilah. Lusa,” jawab Eka.

“Oh… lusa ya,” gumam Deri

Eka pun jadi penasaran dan bertanya “Emang ada apaan?”

“Ehm… nggak ada apa-apa. Cuma biar sehat saja. Olahraga rutin gitu.”

“Oh... biasa juga males gerak lu.”

“Beda, dong. Kalau badminton gua semangat,” kata Deri.

“Oke. Nanti lusa ya… Jamnya seperti biasa. Terus tempatnya…”

“Tempatnya yang terakhir kemarinlah,” Deri memotong sebelum Eka selesai berbicara.

“Hah? Kenapa yang kemarin, sih? Harganya itu… ada kok GOR lain yang lebih murah,” ujar Eka sedikit protes.

“Enakan tempatnya. Kalau soal harga biar gua yang bayar.”

“Kalau dibayarin. Okelah…” Eka nyengir.

“Apaan, sih?” Fina tiba-tiba ikut dalam obrolan.

Lihat selengkapnya