Setelah keluar dari cafe dan menemukan Syafia yang tampak mencari keberadaan Rayna, dengan segera ia menghampiri Syafia, kemudian mereka mencari tempat paling nyaman untuk mereka mengobrol.
“Lo tadi kok udah keluar dari cafe itu? Kenapa kita gak disitu aja tadi?” Rayna hanya membalas dengan gelengan sambil menyedot minuman yang ada di hadapannya
“Terus? Kenapa sih?”
“Disana ada mas Irsyad sama temennya” Syafia masih mendengarkan “Tadi kan gue datang bareng mas Irsyad, terus karena lo lama datangnya, jadinya dia ngenalin gue sama temen - temennya”
“Bagus dong, lo jadi tau siapa temen dia”
“Bagus memang, yang gak bagus itu ternyata salah satu temennya itu adalah Arkan”
“kok bisa? Mereka udah lama temenan?”
“Dari kecil malah, tapi abistu mereka pisah. Dan baru ketemu beberapa tahun terakhir” ucap Rayna menjelaskan
“Sama dong kaya lo. Terus lo kenapa? Bukannya lo udah ngelupain dia?”
“Awalnya sih memang gitu, tapi akhir - akhir ini dia jadi kaya lebih, gimana ya bilangnya. Gue merasa kaya dia mulai berusaha mendekat gitu ke gue. Kan gue jadi gak nyaman”
“Irsyad tau?” Rayna menggeleng
“Makanya. Gue jadi merasa nyembuyiin sesuatu dari dia”
“Baik lo cerita deh”
“Entar juga gue bakal di introgasi kayaknya” Syafia mengerutkan keningnya
“tadi dia juga kaget pas tau ternyata kami satu sekolah.”
“Udah pasti sih itu, siap – siap deh lo” Rayna hanya mengangguk
“Terus... lo sendiri mau cerita apa?”
Pernah gak sih kalian mendengar kalau orang yang paling tampak bahagia bisa jadi dia juga lah orang yang paling tersakiti?
Bisa dibilang, seperti itulah sosok Syafia sebenarnya. Rayna juga begitu, namun Syafia lebih tersakiti. Masalah keluarganya yang tak pernah usai, namun itu sama sekali tak membuat senyum diwajahnya pudar.
Hingga akhirnya, semua tak lagi bisa ia pendam dan memilih menceritakan pada Rayna, setidaknya itu bisa membuatnya sedikit lebih lega.
Bercerita dengan Rayna mungkin tak ada solusi, namun syafia juga hanya ingin didengar. Rayna memang pendengar yang baik, ia akan selalu menatap lekat dan mencoba ikut merasakan apa yang sahabatnya rasakan.
“lo belum mau pulang?”
“Gue males banget buat pulang, tapi gue juga gak bisa untuk menghindar”
“Lo coba untuk berdamai aja dulu sama diri lo sendiri. Seperti kata Daliya, cobalah untuk Ikhlas”
“Kemana sih tu anak, gak pernah ada kabar, dihubungi juga susah”
“Gak tau deh tu, gak ada cerita juga. Terakhir sih dia bilang dia mau ke kampung ibunya dalam waktu yang lama”
“Padahal lagi butuh banget ceramah dia”
“Iya ya”
Drrtt... Drrtt... Drrtt...