“Selamat hari jadi Altrima yang ke-1000!”
Suara wanita penuh semangat terdengar sayup-sayup dari perangkat radio kecil yang berada di atas nakas. Wanita di radio tersebut mengulang-ulang kata ‘selamat’ seperti jimat, seperti doa. Berpadu dengan hujan deras yang sudah turun semalaman, kalimat yang diucapkannya jadi suram.
Di lain sisi, wanita lain yang duduk di samping tempat tidur tampak seperti bangun dari kematian. Rambutnya yang berwarna kehijauan gelap—efek pewarna—kusut masai. Busananya lecek, dan wajahnya bengkak habis menangis. Ia mendengar kata-kata wanita di radio seperti salah satu cara untuk menguatkan diri entah dari apa.
“Ini adalah peringatan terpenting karena umat manusia sudah mencapai kedamaian mutlak selama satu milenium. Ini bukan hal sederhana! Kedamaian! Selama seribu tahun berturut-turut! Perayaan adalah keharusan!” seru wanita di radio menggebu-gebu.
Wanita lainnya menggeraut lengan bagian atasnya dengan kuku, “Bangunlah, ayo bangun.” Ia merintih.
“Perayaan! Bicara tentang perayaan, jangan lupa bahwa jurnalis wanita nomor satu Altrima sudah merencanakannya sejak dua bulan lalu. Rencana yang ambisius, bahkan untuk jurnalis terbaik sekalipun. Namun dia berhasil! Perhelatan di Sky Dome akan diadakan lusa dan gerbangnya terbuka untuk semua orang. Semua orang! Tahukah kalian berapa anggaran pelaksanaan acara besar-besaran ini? Kita tak bisa membayangkannya.”
“Ayo bangun, Salya!” wanita di kamar menampar pipinya sendiri.
“Jurnalis nomor satu Altrima, Salya Adriana mengundang segenap rakyat Altrima ke dalam festival lima hari untuk merayakan hari jadi ke-1000. Tapi! Kita semua tahu festival ini hanyalah pembukaan. Acara sebenarnya adalah ... Ya! Liputan langsung dari berbagai ahli legendaris dari zaman sebelum Altrima. Perlu Anda sekalian ketahui bahwa para ahli ini sebagian besar telah mengasingkan diri di dunia mereka masing-masing, sebagian memutus koneksi dari dunia luar, sebagian memutuskan untuk tidur kriogenik, dan sang jurnalis berhasil memperoleh persetujuan mereka semua dan hadir dalam perayaan. Tak terbayangkan!” Wanita di radio menjelaskan dengan semangat luar biasa.
“Sial, kakiku. Sial!” Salya, wanita di kamar tersebut, bersusah payah menggerakkan kakinya agar bisa berdiri tetapi tidak kunjung berhasil. Ia merosot dari ranjang ke lantai kayu dengan suara gedebuk keras, lalu menyumpah-nyumpah.
Barangkali suaranya saat jatuh dan menyumpah telah menyadarkan seseorang di luar kamarnya, karena langkah tergesa terdengar mendekat dan pintu kamar menjeblak terbuka. Yang muncul dari balik pintu adalah lelaki yang penampilannya kontras dari Salya—rambut hitam, pakaian rapi, dengan raut lega bercampur khawatir.