Mobil hitam yang kelihatan standar melaju mulus di lajur kiri. Lelaki berambut hitam mengemudi. Salya duduk di sisi. Penampilannya sudah lebih baik dari sebelumnya meski wajahnya masih pucat pasi.
Saat ini mereka tengah melaju menuju lokasi narasumber pertama sampai keempat. Tujuan pertama adalah sebuah fasilitas pelestarian tumbuhan langka. Narasumber pertama sudah tinggal di sana sejak Altrima berusia delapan puluh tahun dan tak pernah menampakkan batang hidungnya pada dunia. Paling tidak, sampai bulan kemarin ketika Salya membujuknya dengan sebuah bunga bangkai yang dia kira sudah punah ribuan tahun lalu.
Sampai di sana, Salya disambut dengan morning tea di rumah kaca oleh asisten si narasumber dan diminta menunggu. Hain duduk di kursi lain dan menyeruput teh yang dituangkan untuknya.
“Sebenarnya aku berniat menanyakan tentang obat yang mereka gunakan padamu ke orang ini. Apa boleh?”
Salya mengerti pemikiran Hain. Narasumber pertama ini adalah ahli biokimia meski objek ketertarikan utamanya saat ini hanya berupa tumbuhan. Orang itu berperan besar dalam menciptakan tanaman sintetis yang bisa bertahan di Altrima dan masih dimanfaatkan sampai saat ini. Namun setiap ilmuwan punya sisi lain, dan orang ini khususnya merupakan ahli racun. Karena ia ahli racun, karya terbesarnya adalah antibodi yang mampu menangkal berbagai racun dan regenerasi sel. Antibodi itu diberi nama Philippa—sesuai namanya sendiri dan merupakan gebrakan besar yang menjadi tonggak peradaban Altrima. Buktinya, tentu saja adalah sosok Philippa itu sendiri yang telah berumur 950 tahun.
“Bukankah kau menyembunyikan peristiwa penculikanku dari dunia? Kalau sudah begitu, lanjutkan sampai akhir. Aku tidak ingin banyak orang mengetahui.” Jawab Salya.
Misal Hain keberatan dengan jawaban Salya, ia tak menunjukkannya sama sekali. Ia tak mencapai posisinya saat ini dengan emosi yang bertebaran. Dan pilihannya untuk tidak menanggapi lebih lanjut sudah benar. Karena Philippa, narasumber pertama telah datang diikuti asistennya.
Philippa tampak berumur lima puluhan di umurnya yang hampir setara Altrima itu sendiri. Rambutnya cokelat dengan sedikit uban. Wajahnya bersih tanpa jenggot. Busananya seperti tukang kebun emosian dan wajahnya kaku saat tersenyum, barangkali efek hanya ditemani tumbuhan dan satu asisten langsung selama ratusan tahun. Ekspresinya yang manusiawi baru pernah terlihat satu kali: yaitu ketika bunga bangkai yang ia idam-idamkan datang tepat di depannya.
“Bukan bermaksud tak sopan pada keturunan dari saudaraku sendiri, tapi kalau kau datang untuk memastikan bahwa aku tidak ingkar janji, aku sarankan kau segera kembali.” Kata Philippa begitu duduk di kursinya di seberang Salya.
“Saya memang hanya mampir sebentar,” tanggap Salya sambil menyeruput tehnya perlahan. “Melihat wajah orang-orang terkait sebelum acara berlangsung dan memastikan semuanya baik-baik saja adalah kebiasaan saya. Tolong maklumi, ya.”
“Heh,” Philippa mencibir. “Aku bisa lihat kemampuan bicaramu itu turun dari siapa.”
Salya hanya tersenyum.
“Kau sudah lihat aku baik-baik saja. Untuk menjadi pembicara dalam acara puncakmu atau apalah itu aku berhari-hari memikirkan apa yang harus kukatakan. Kau tahulah aku orang belakang. Dari dulu memang tak pernah bicara di podium, jadi permintaanmu ini sulit bahkan untuk seorang Philippa yang legendaris.”