Tujuan selanjutnya adalah sanatorium pribadi milik narasumber kedua. Seorang penulis dan pencatat sejarah yang umurnya bahkan lebih tua dari Philippa. Ia hidup sejak seribu tahun sebelum Altrima dibangun. Dalam autobiografi yang ia publikasikan dengan berat hati 500 tahun lalu, ia menulis bahwa sebagai manusia tertua saat ini, yang dimilikinya hanyalah keberuntungan.
Pada zaman dia hidup, praktik kriogenik pada manusia masih jauh dari sempurna. Pembekuan berisiko kematian fungsi otak. Tak berguna meski cara kebangkitannya diketahui suatu saat di masa depan. Entah karena keajaiban apa, dari ratusan ribu orang yang melakukan praktik kriogenik pada masa itu hanya dia yang berhasil bangkit tanpa kekurangan suatu apa pun. Setelah pengakuannya yang ia anggap memalukan, ia melakukan tidur kriogenik lagi dua tahun setelah buku autobiografinya rilis. Ia bangun empat bulan lalu dan saat ini menjalani terapi di fasilitasnya sendiri.
Berbeda dari kunjungan ke kediaman Philippa, yang menyambut mereka kali ini adalah wanita berwajah kuyu di atas kursi malas beroda. Umurnya terlihat sekitar akhir tiga puluhan meski perilakunya seperti orang jompo. Wanita itu membenahi kacamatanya yang melorot saat melihat Salya datang menghampiri.
“Bu Mona, Anda tidak perlu repot-repot menunggu saya di luar.”
Bu Mona terbatuk dan membuang muka, “Aku tidak sengaja menunggu. Aku kebetulan keluar dan kalian tiba-tiba datang. Ayo masuklah, kebetulan sesi terapi pagiku baru selesai.”
Sanatorium Bu Mona adalah yang terbaik kedua di Altrima. Sebenarnya bisa saja menjadi yang pertama kalau beliau mau membuka fasilitasnya untuk umum. Sayangnya, beliau orang yang sangat protektif pada properti pribadinya sampai tak ingin orang lain menggunakannya.
“Baiklah, ada baiknya saya datang setelah menerima konfirmasi. Kalau tidak, bisa-bisa mengganggu sesi terapi Ibu,” kata Salya. Ia mengerling pada Hain, lalu terkekeh tanpa suara. “Hain, ayo bantu dorong kursi Bu Mona.”
Dengan senyum tertahan Hain menurut. Bersama-sama mereka menuju ruang pertemuan yaitu perpustakaan pribadi Bu Mona.
Jika Pak Philippa dibujuk dengan bunga bangkai, Bu Mona dibujuk dengan Hain. Meski legendaris, beliau adalah orang yang sederhana dalam beberapa hal. Khususnya wajah tampan. Beliau suka melihat lelaki tampan dan kebetulan Hain adalah tipe idealnya untuk menjadi sumber inspirasi. Bagi seorang penulis, sumber inspirasi itu sama berharganya dengan nyawa. Bahkan kabarnya, keputusan Bu Mona untuk tidur kriogenik terakhir kali bukan murni karena malu autobiografinya dibaca. Namun juga karena suaminya—sumber inspirasinya sendiri memilih untuk tidak memperpanjang hidupnya lagi.
Sesampainya di perpustakaan, Salya tak bisa menahan diri. Ia beramah tamah dengan Bu Mona secara berlebihan sampai kalimat terlarang—bagi Hain—keluar: “Semua ini berkat Hain. Acara ini tidak akan berjalan sukses tanpa Bu Mona, dan Ibu butuh Hain.”
Hain mengode agar Salya berhenti. Tapi Salya terus melanjutkan.
“Maka hari ini saya bawa Hain agar ibu dapat inspirasi—untuk pidato dalam acara puncak besok.” Salya berdeklarasi penuh semangat.
Bu Mona mengangguk-angguk, “Benar. Kamu benar-benar mengerti kemauan saya. Begitu dapat pesan bahwa Salya akan datang, saya merasa jangan-jangan kamu bisa baca pikiran. Saya memang lagi butuh inspirasi.”
“Gunakanlah Hain sesuka Ibu,” Salya mengangguk-angguk. Satu tangannya menepuk punggung Hain berkali-kali.
“Ya! Akan Ibu manfaatkan dengan baik.” Bu Mona ikut mengangguk riang. Dengan lincah ia bergerak ke balik meja dan membaca ulang skrip pidatonya. “Nah, akhirnya aku tahu apa yang harus kuisi pada bagian ini. Kalau bagian ini—sampah sekali! Bisa-bisanya tadi aku mengira tulisanku sudah bagus?”
Salya tersenyum menyaksikan Bu Mona sibuk sendiri. Mengabaikan tatapan panas dan intens dari sebelah kanannya. “Biasanya memang begitu Bu. Saya kerap mengalaminya juga saat menulis.”