Pertemuan pertama Hain dengan Salya belum lama. Kalau dihitung-hitung baru sekitar empat bulan lalu. Saat itu Salya baru mulai menggagas ide yang terlalu spektakuler: bagaimana kalau kita undang tokoh-tokoh bersejarah dunia dan minta mereka muncul di publik setelah sekian lama?
Di kantor Salya semua orang bilang dia bermimpi terlalu tinggi. Meski Salya jurnalis terbaik dan punya keluarga berpengaruh sekalipun, gagasannya sudah terlalu berlebihan. Bagaimana bisa dia menemukan orang-orang itu dan lebih lagi—mengundang mereka ke publik?
Salya tidak menyerah dan rencana itu dipikirkannya masak-masak. Di sisi lain, dengan mengandalkan koneksinya ia menemukan keberadaan orang-orang yang ia targetkan dan mempelajari segala hal tentang mereka. Rancangan acara dan cara memperoleh yang ia inginkan sudah rampung ketika akhirnya rencana itu disetujui.
Berkat insting luar biasanya atau entah apa, Salya sudah merasa perjalanannya untuk mewujudkan rencana ambisiusnya akan mengundang sorotan tak diinginkan. Maka ia menemukan Hain dan merekrutnya sebagai tim Sukses Pribadi—nama tim yang sangat jelek. Pekerjaan utama Hain dan orang-orang lain yang direkrut bersamanya hanya satu: lakukan apa pun yang diminta Salya. Kemudian Hain menjadi ketua tim dan frekuensi kontak langsungnya dengan Salya bertambah. Mereka pun jadi teman. Begitu saja. tak ada yang benar-benar spesial. Hanya orang yang saling bertemu dan kenal karena situasi.
Kalau Salya tidak punya rencana semacam itu, kalau Salya bukan orang yang sangat peka dengan keadaan, kalau Salya tidak kebetulan melihat Hain sedang berlatih tanding—dan menyaksikan sepuluh kali tembakan berturut-turut ke tim musuh tepat di tengah dahi mereka—lalu menjadikan dia ketua tim, mereka tidak akan jadi seperti sekarang.
Bahkan Hain hampir gila ketika jejak Salya dan sekretarisnya tak ditemukan. Padahal ia hanya berpaling sejenak. Lalu yang terjadi setelahnya terasa seperti mimpi demam musim panas: Ia menelusuri ke sana kemari, bertemu banyak orang yang selama ini berusaha dia hindari, dan berlari gila-gilaan sampai ia menemukan mereka tergeletak begitu saja di pinggir jalanan sepi. Karin yang membopongnya tak tahu dari mana memiliki dua peluru bersarang di pahanya dan meninggal kehabisan darah tanpa sempat bicara apa-apa. Salya sendiri hampir meninggal jika ditemukan lebih lama lagi.
Entah apa yang berusaha mereka korek dari Salya, gadis itu bertahan sampai kedua kakinya dihancurkan. Pada akhirnya bukan Hain yang menyelamatkan dia, melainkan Karin. Pada akhirnya Hain tak melakukan apa-apa—hanya penjaga yang gagal.
Hain sebenarnya merasa lega bahwa Salya kehilangan ingatan. Apa pun yang Salya alami waktu itu memang sebaiknya dilupakan saja. Tetapi di sisi lain ia khawatir akan hal yang tak diketahui. Ia takut hal yang membahayakan Salya ternyata sudah jelas dan ia tak bisa menyadari.
Maka ketika Salya bilang dia punya Hain untuk menjaganya, Hain tak peduli apakah itu hanya bercandaan atau serius. Ia sungguh-sungguh merasa bersyukur. Salya tak menyalahkannya. Dia tak pernah menyalahkan siapa pun.
Di mobil, Salya menunggu dengan kerutan dahi. “Apa yang Bu Mona bicarakan?”
“Tidak apa-apa.” Hain menjawab sambil lalu, ia bersiap untuk menghidupkan mobil namun Salya menahan tangannya.
“Kau habis menangis? Sebenarnya apa yang dikatakan bu Mona sampai kau nangis?” Salya menatap Hain lamat-lamat, menunggu jawabannya.
“Kau sendiri, apa yang kau lakukan padaku di dalam tadi?” Hain melajukan mobil perlahan, mengikuti navigasi ke kediaman narasumber kedua.
Salya menarik diri, “Katanya kau anggap bonus buatku saja? Kenapa sekarang malah diungkit lagi? Kukira kau malah mau tanya kenapa aku menyebut sekretaris padahal tidak punya.”
“Aku khawatir, tahu. Terkadang aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Aku bahkan tidak tahu kenapa kau harus mengunjungi semua narasumber ini satu persatu sebelum acaranya mulai. Padahal kita bisa mencari obat atau menyelidiki orang-orang yang menculikmu sampai tuntas.” Hain menarik napas dan mengembuskannya berat. “Kau sendiri bilang kalau diincar karena lemah. Aku takut kenyataannya memang begitu. Bahkan sekarang aku takut orang-orang itu datang lagi karena menganggapmu lemah dan aku tak bisa melindungimu.”