“Salya, bangunlah. Mereka memberi kita istirahat, entah kenapa.” Karin yang membangunkannya sangat acak-acakan. Bajunya terbuka di beberapa tempat dan Salya langsung tahu apa yang terjadi.
“Karin! Maafkan aku, Karin. Maaf.” Salya meme-luknya erat. “Maafkan aku, seharusnya aku bicara. Kalau tahu mereka memperlakukanmu seperti itu… maafkan aku, Karin.”
“Tak apa Salya, tak apa.” Meski ia bilang begitu, jejak tangis terlihat jelas di wajahnya. Kuku tangannya berdarah, bukti bahwa ia melawan. “Bukannya aku tak bisa hidup lagi setelah ini. Bahkan walau aku jadi begini, kau akan tetap menerimaku kan?”
“Tentu saja, bicara apa kau ini. Kita akan keluar dari sini, dan kau akan kembali jadi sekretarisku yang serba bisa. Kau tak pernah punya satu kekurangan apa pun. Tak ada, Karin.”
“Jangan katakan apa pun, Salya. Kita kalah jika kau lakukan itu. Jangan katakan ya, kumohon? Mimpimu harus terwujud. Tim suksesmu pasti datang menyelamatkan. Hain pasti datang.”
“Ah, tentu. Aku tidak akan membuat kita kalah. Mimpiku juga akan terwujud. Dan Hain pasti menye-lamatkan—tapi kenapa dia?”
Seulas senyum cantik muncul di wajah Karin, “Karena dia orang yang paling dekat denganmu setelah aku. Dia pasti tengah menggila sekarang. Dia menyukaimu sebegitunya. Di dunia ini mungkin cuma kau yang tak tahu.”