“Aku memperhatikanmu dengan segala keterbatasanku. Jadi terima saja jangan banyak bicara.”
^v^
“Ae pagi amat lo dateng?”
“Iyalah, emang lo. Kebo.”
“Aish. Apaan, lo aja yang mau buka gerbang sekolaj sampe dateng jam enam.”
“Karna gue nggak yakin bisa pergi, kalo lebih siangan lagi.”
Jamilo mendekat sambil meletakkan Tupperware berwarna biru telur ke atas meja. “Ini gue bawa nasi. Lo pasti belum makan.”
“Lo kira gue lagi ngupil,” katanya menatap Jamilo datar. Jelas-jelas ia sedang makan roti sekarang. Apa itu bukan bagian dari makan? Oke, memang di negara ini kalau belum makan nasi. Katanya belum makan. Siapa pula pencetus kiasan aneh itu.
“Gue suka gaya lo, Ae,” balas Jamilo terkekeh seraya menarik bangku di samping Aeera, dan mendudukinya.
“Kali ini dapet dari mana?”
Cewek itu menyelidik dengan alis hampir menyatu. Sesekali menyusupkan potongan roti isi cream coklat.
“Makan aja deh. Kasian gue liat lo makin kurus aja.”
“Makannya, kasih gue makanan bergizi, Mil. Bukan cuma ngomong aja.”
“Hmm, tunggu gue jadi milyader dulu ya, Ae. Sekarang masih bang toyib.”
“Keburu gue mati.”
“Stoop! Lo kalo ngomong nggak pake rahang ya?” ujar Jamilo mengangkat telunjuknya dan menoyor kening Aeera kasar. “Berhenti ngelantur. Udah buruan dimakan, bentar lagi bel.”
“Iya-iya.”
Lantas ia menyingkirkan bungkus roti di hadapannya. Yang langsung dibajak Jamilo tanpa permisi. Jadi ini seperti barter. Roti diganti bekal pagi.
“Enak juga nih roti cokelat.”
“Iya, enak karna gratis,” celetuk Aeera memperhatikan Jamilo makan. “Kayaknya gue nggak nawarin deh, kok lo makan seenak pantat.”
“Jidat, Ae. Yaelah, kan nyicip.”
“Iya, nyicip. Tapi sampe habis banyak, ya. Itu mah maruk tau nggak?”
Petuah Aeera hanya dibalas dengan cengiran garing. “Buruan di buka, Ae. Beneran keburu masuk nanti.”
“Iya, bawel lo.” Dibukanya bekal tersebut, hingga membuat Aeera tercenung sambil mengerjapkan mata, “Wow! Lo kira gue anak SD, Jamil?!”
“Eh, kenapa emang?”
Mata Jamilo memicing ketika Aeera menyodorkan kotak bekal tersebut. Itu seperti memberi porsi kucing.
“Mana kenyang gue makan ini,” tutur Aeera melotot pada nasi dan sosis goreng sebanyak tiga potong, dan sedikit sayur capcai.”
“Ya wajarlah dikit. Itu bekal adek gue. Sengaja gue colong.”
“Astaga! Selain lo kasih gue makanan haram, lo mau bikin gue tambah kurus, Mil. Ini tuh nggak berkah, nggak berkah! Tau.”
Tidak heran kelakuan Jamilo yang selalu tak terduga. Sama seperti sebelumnya, saat Jamilo membawakan semur jengkol tanpa nasi. Sumpah. Itu anugerah sekaligus bencana. Sebab satu kelas jadi menghujat mereka karena aromanya. Di hari lainnya, Jamilo sengaja membuat jus jeruk. Tetapi dia yang terlalu bego atau memang tidak sadar, bahwa yang diramunya adalah lemon. Sejak saat itu, Aeera selalu was-was jika temannya membawakan makanan.
“Udah berdakwahnya? Mulut sama hati nggak sinkron, lo.”
Mau bagaimana lagi. Itu juga rejeki. Begitu pikir Aeera dan tetap melibas bontot dari Jamilo. Tidak berubah, masakan mama Jamilo tetap sedap.
“Kenapa lagi Uta?” tanya Aeera seraya menyunyah sosis.
“Biasa. Bocah itu nggak mau sekolah, malah nangis coba. Yaudah, gue ambil aja nasi itu dari pada mubazir.”
Kepala Aeera mengangguk paham. “Lo mau sampe kapan makan roti gue?”
Perkara buntelan roti sederhana saja mereka bergaduh. Beberapa anak yang mulai berdatangan di kelas hanya melirik dan melempar cibiran. Pandangan aneh melekat dari dua sejoli yang paling sering mengundang gosip. Entah karena perbedaan gaya hidup atau sikap rendah dari seorang manusia.
“Lo bawa minum, Mil?”
“Nggak.”