Titik temu

Ulfi Nurul F
Chapter #3

Sebuah pesan

Tidak pernah ada kegiatan yang mengasyikan bagiku sebagai mahasiswa tingkat akhir. Apalagi kalau bukan hanya berada di perpustakaan selama berjam-jam. Mencari buku setebal ribuan halaman, mengetikkan kata kunci untuk mendapat jurnal referensi terbaik. Sampai akhirnya pulang kembali ke kosan dengan hasil revisian yang tak kunjung selesai. Ya, hanya seputar itu saja kehidupan kampusku sekarang. 

Dan di setiap saat aku berkutat dengan laptop di perpustakaan. Pasti saja selalu ada pengganggu yang sama. Orang yang sepertinya sudah tahu kalau aku senang sekali diam di perpustakaan.

"Alona !"

Hampir saja aku ingin berteriak saat seseorang yang kumaksud itu menghampiriku dari belakang. Selalu begitu. Mengagetkan.

Dia adalah Bima, mahasiswa tingkat tiga yang seumuran denganku tapi berada satu tingkat di bawahku. Entah sejak kapan pria itu menjadi pengangguku kemanapun aku pergi. Lebih tepatnya di perpustakaan. 

"Bima !" pekikku pelan, "Ngapain kamu disini?"

Dia menyeret bangku ke sebelahku, membuatku refleks menyeret bangkuku menjauh darinya.

"Aku mau kamu ajarin aku sesuatu."

"Ih, kamu gak liat aku lagi ngerjain skripsi?"

"Ayolah, bukan hari ini. Tapi besok kok."

Aku memalingkan wajahku, "Gak, gamau. Kamu kan punya banyak teman lho, kenapa harus aku."

"Aku maunya kamu, Na."

Aku memutar bola mataku tidak mengerti. Bima, salah satu pria yang cukup dikenal di kampus walaupun sikapnya sedikit 'pecicilan' mana mungkin tidak punya teman untuk belajar bersama ? Lagi pula, kenapa harus aku? Kenapa aku yang selalu dia ganggu, padahal masih banyak orang di luar sana yang mungkin ingin diganggu olehnya.

"Kalau alasan kamu itu, aku gamau. Lagian kamu kan pasti punya banyak teman."

Bima mendengus kesal, "Ya iya. Tapi aku mau temenan sama kamu juga, Na. Sama orang baik kayak kamu."

Aku menoleh kaget, "Hah?"

Raut muka Bima berubah begitu serius. Bima yang selalu dan akan tetap terlihat menjadi adik tingkatku itu kini menunjukkan wajah paling manly yang pernah dia tunjukkan. Membuat aku sejenak tersadar bahwa Bima adalah seorang pria seumuranku, bukan satu tahun lebih muda dariku.

"Kamu ga tau Na? Sejak insiden itu, aku jadi kepikiran kamu terus."

"Insiden?"

Bima mengangguk, masih dengan wajah seriusnya, "Kamu harus tanggung jawab, Na."

Aku hampir frustasi dibuatnya. Memangnya kesalahan apa yang sudah aku perbuat sampai-sampai harus bertanggung jawab ?

"Apa sih, kamu ngomong apa, Bim. Aku gak ngerti !"

Bima menatapku lekat-lekat, lalu menghembuskan napasnya pelan. "Ah, sudahlah, benar kata orang kamu tuh gak peka."

Aku memukul pundak Bima kesal, hampir saja orang-orang di sekitarku melirik dan melemparkan tatapan bingung padaku dan Bima.

"Kamu yang gak jelas, bukan aku yang gak peka."

Aku kembali berkutat dengan laptop dan bahan skripsi. Sementara Bima masih berada di sampingku tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku sempat dibuat risi sekaligus gugup. Bima hanya memandangiku, dan sekali-kali ikut memandangi laptopku. Ya, selama hampir beberapa menit dia begitu. Siapapun yang dilihat oleh Bima pasti akan merasa tak nyaman. Apalagi aku.

"Bim, aku tahu aku cantik. Tapi, bisa kan gak liatin aku kaya gitu?"

"Gak bisa. Lagian siapa suruh kamu gak mau ngajarin aku."

"Emang kalau aku mau, kamu bakal pergi sekarang dari perpustakaan?"

Bima tanpa ragu mengangguk.

"Oke.." aku menarik napas, "kabari aku besok dan dimana kita belajar."

Lihat selengkapnya