Aku tersenyum, aneh dari mana !
Lalu sejak malam ini aku belum membalas pesannya sama sekali.
***
"Woy !"
Aku menoleh kaget seperti biasa, dan itu adalah kerjaan Bima. Siapa lagi kalau bukan dia. Entah kapan dia bisa menghampiriku dengan cara yang normal. Maksudku, ayolah jangan membuatku kaget dengan tiba-tiba datang dari belakang. Bagaimana jika aku tiba-tiba jantungan?
"Ini buat kamu."
"Ini apa, Bim?"
Dia hanya tersenyum lebar, layaknya anak kecil. Ah, dia memang terlihat seperti anak kecil karena kelakuannya itu. Setidaknya di hadapan dan menurut pandanganku.
"Cemilan, kamu tahu kan belajar tanpa cemilan itu gak enak?"
Aku buru-buru menoleh ke kanan dan kiri. Bima memang harus dipukul sekali-kali, "Kamu ini, ini di perpus. Mana boleh makan. Bisa-bisa aku diusir. Ah, bukan aku, tapi kita!"
"Aw, galak banget sih." Bima mengerucutkan bibirnya, tapi sedetik kemudian dia sudah mengeluarkan senyum cerianya itu, "Nah, makanya gimana kalau kita belajar di taman aja? Kan bisa sambil makan."
Tatapanku langsung menyorot tajam, "Kamu mau mati? Aku sudah disini, kamu bilang mau di taman?"
Dia lagi-lagi hanya terkekeh. Ah, apa kerjaan Bima ini hanya tersenyum dan tertawa. Apa hidupnya begitu indah dan ringan sampai-sampai aku tak pernah melihat keseriusan di wajahnya itu.
"Oke, aku gak mau mati. Jadi aku tetap disini. Tapi..."
"Bim, mau aku ajarin atau nggak?"
Bima langsung berdeham keras, lalu menegakkan tubuhnya. Berakting layaknya orang yang siap-siap akan belajar. Padahal aku sudah tahu, setelah ini dia pasti tertawa.
"Hehe..." Benar saja, kan. "Iyah, aku siap Bu dosen. Ayok mulai."
Untung saja aku masih bersabar. Jika tidak, mungkin Bima sudah aku tendang ke belahan bumi lainnya. Tapi...aku memang tak pernah semarah itu sih sama orang.
Selama belajar, Bima sering kali memainkan beberapa kali bolpoinnya. Beberapa kali aku menegurnya karena aku tak bisa fokus mengajarinya tentang pengenalan resiko penyakit hewan di Indonesia. Lalu, sejak aku menegurnya, Bima benar-benar fokus pada beberapa materi yang aku ajarkan. Dan, baru kali ini aku melihat wajahnya yang begitu serius belajar tanpa sekalipun dia menyela. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Setiap 30 menit, Bima memintaku istirahat. Lalu, di setiap 30 menit itu juga dia mulai bercerita kesana-kemari. Mulai dari suasan kuliah hari ini, tentang club' bola kesukaannya Real Madrid yang baru saja menang kemarin dini hari, dan tak akan lepas dari pembicaraan mengenai seputar musik. Karena, Bima adalah penggemar musik. Sama sepertiku, sebenarnya.
"Oh, dan lagu baru Noah. Kamu belum mendengarnya, kan?"
"Udah." ucapku cuek
"Kan sudah kubilang jangan dulu."
"Aku sudah mendengarnya sebelum kamu bilang, Bim."
"Kalau gitu, kamu penggemar Noah juga dong?" tanyanya riang
"Bukan. Aku cuma suka musik. Kalau ada lagu baru yang release ya aku pasti dengar."
"Queen? Kamu juga dengar?"
"Gak terlalu tahu, tapi aku pernah dengar lagunya yang Love of my life. Tapi siapa sih yang gatau queen jaman sekarang, apalagi waktu film bohemian raphosdy tayang. Ya, walaupun aku juga ga nonton."
"Hmm, gak apa-apa setidaknya selera musik kita hampir sama. Emang kamu sukanya musik apa?"
"Apapun. Selagi musiknya enak di telingaku, ya aku dengar."
"Kalau barat? Kamu suka?"
"Maroon five, Taylor Swift.. ya cuma segitu-gitu aja deh. Kamu tahu kan artis-artis Disney jaman dulu? Aku suka mereka juga."
"Oh, aku kira kamu lebih suka queen atau The Beatles, rolling stone."
Aku melirik ke arah Bima, "Kamu suka lagu-lagu jaman dulu ya kayaknya."
"Iyah karena..."
"Karena?"