Sabtu, 1 Oktober 2016
Pertemuan mingguan komunitas mengajar selesai lebih awal dari biasanya. Berbeda dengan beberapa minggu sebelumnya—kami diajak mengenal lebih jauh beberapa komunitas mengajar di Kota Bandung—pertemuan minggu ini lebih fokus pada pendalaman materi seputar psikologi anak dan trik-trik mengajar.
Sejak minggu lalu, meskipun belum sah diterima menjadi anggota komunitas, kami diperbolehkan ikut mengajar di salah satu rumah belajar—kami menyebutnya rumbel. Bersama Ella, aku memilih ikut mengajar di rumbel Kebon Bibit—lebih tepatnya kami mengajar di sebuah ruangan dalam musala yang biasa digunakan untuk kegiatan mengaji anak-anak—setiap Sabtu sore. Pada pertemuan pertama, kakak-kakak—begitulah kami dipanggil oleh para murid yang mayoritas masih duduk di bangku taman kanan-kanak—mengajar tentang tata surya. Adik-adik—sebutan murid rumbel Kebon Bibit—ditantang untuk menggambar sistem tata surya seapik mungkin sementara para kakak ditantang menjaga para adik agar tetap bersikap manis.
Selain karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dibandingkan rumbel lain—salah satu rumbel berlokasi dekat terminal Cicaheum dan satu lagi di daerah Ciumbuleuit—waktu mengajar rumbel Kebon Bibit menjadi satu-satunya pilihan waktu mengajar yang bisa kuikuti. Aku tidak cukup termotivasi untuk bangun pagi lalu menempuh perjalanan panjang dari Terminal Ledeng ke Terminal Cicaheum untuk mengajar anak-anak setiap hari Minggu dan aku tidak yakin masih memiliki cukup energi selepas hampir seharian di kampus untuk mengajar di rumbel Ciumbuleuit setiap malam Kamis.
Matahari bersinar terik menjelang tengah hari. Sembari menunggu waktu mengajar, aku bersama Ella dan teman sefakultasnya—Ferdi dan Gea—memutuskan pergi makan siang di kantin dekat gedung jurusan kimia. Selain karena satu fakultas, Ella dan Ferdi berteman dekat karena keduanya sama-sama mendaftar unit angklung—salah satu unit budaya yang terkenal tegas mencoret nama-nama calon anggota yang tidak serius menyelesaikan tugas kaderisasi unit.
Meskipun sempat bertemu pada pertemuan pertama mengajar di rumbel Kebon Bibit, aku dan Ferdi baru resmi berkenalan setelah dipertemukan pada kelompok diskusi seputar Taksonomi Bloom menjelang akhir pertemuan mingguan komunitas mengajar.
“Samara, anak yang kemarin, siapa namanya?” tanya Ella.
“Anak perempuan yang bersamaku? Hm... Mina? Ya, namanya Mina.” Aku memasukan suapan pertama ke dalam mulut.
“Dari awal sampai waktu pulang kamu sama diaaa... terus,” komentar Ella.
“Oh iya?”
Aku tidak merasa heran mengetahui Ferdi tidak menyadarinya. Berbeda denganku yang fokus hanya pada satu adik, Ferdi dengan tingkah lakunya yang selalu mengundang tawa hingga perut kesakitan ditambah kepribadiannya yang terlampau kontras dengan perawakannya yang tinggi-besar sukses menjadi incaran adik-adik sejak awal. Mereka mengajak Ferdi main tebak-tebakan, kejar-kejaran, bahkan bertarung—Ferdi dipaksa mengalah, tentu saja, atau Kak Septi selaku pimpinan rumbel akan menegurnya.
“Kok bisa kamu akhirnya sama anak itu?” Gea penasaran.
“Dia sangat pemalu. Entahlah, antara memang pembawaannya yang seperti itu atau dia belum pernah datang sehingga merasa canggung,” ujarku. “Ketika adik-adik yang lain mengajak kakak-kakak menggambar bersama, dia memilih menggambar sendiri di pojok ruangan. Aku tidak tega melihatnya.”
“Dia mau ditemani kamu?” tanya Ella.
“Awalnya dia merasa tidak nyaman. Setiap kali aku mengajaknya berbicara, dia hanya diam. Setelah aku membantunya menggambar matahari, baru dia memberitahu namanya. Aku bersyukur tidak berpaling ke adik lain. Kalau aku tidak sabar, aku mungkin tidak akan punya kesempatan untuk tahu namanya.”
“Ra, kamu fakultas apa?” Ferdi memasukan suapa terakhir ke dalam mulut.
“Farmasi. Kenapa?”
“Kamu masuk fakultas farmasi karena gagal masuk kedokteran, ya?” tanya Ferdi usil.
Ferdi bukan orang pertama yang menanyaiku pertanyaan itu. Bahkan sebelum memutuskan kuliah jurusan farmasi, aku sering mendengar orang-orang mengatakan hal serupa. Dan tidak pernah sebaliknya. Dipandang dari satu sisi, pemikiran itu nyatanya berat sebelah. Sama sekali tidak adil. Akan tetapi, setelah tahu sebagian besar teman sefakultasku menempatkan jurusan farmasi pada pilihan kedua setelah pendidikan kedokteran, kurasa aku bisa sedikit mengerti alasan terciptanya pemikiran yang taraf kebenarannya berada di tengah-tengah: antara iya dan tidak.
“Tidak,” jawabku mantap. “Farmasi pilihan pertamaku. Dan aku hanya memilih kampus ini untuk SBMPTN.”
“Kamu SBMPTN?”
Reaksi Ferdi—kedua matanya spontan membulat—mengingatkanku pada Irda, salah seorang teman sefakultas asal Bekasi yang pada waktu sidang terbuka duduk di sampingku. Reaksi Irda sama persis dengan Ferdi saat tau aku berhasil menjadi mahasiswa di kampus ini karena lolos SBMPTN—dari data yang beredar, itu berarti aku berhasil menang memperebutkan satu kursi melawan enam puluh tiga peserta ujian lainnya.
“Iya, aku masuk sini karena lolos SBMPTN.”
“SNMPTN tidak lolos?” Ferdi tambah penasaran.