Titik Temu

Mentari
Chapter #8

Satu Syarat Penting

Minggu, 28 Juli 2019

Kubenturkan dahi ke atas meja belajar hingga spidol dalam kaleng bekas susu kental manis di atas meja terhentak. Pada kali kedua, tumpukan buku di atas meja ikut bergoyang meski malu-malu. Pada kali ketiga, pulpen hitam dengan mulus berguling hingga jatuh ke lantai. Pada kali keempat, dahiku yang malang menabrak pinggiran meja. Garis merah terukir jelas, membagi dahiku yang sempit menjadi dua.

Dengan suasana hati yang sedang buruk-buruknya, aku bersyukur Aini tidak terlampau penasaran dan bertanya apa yang sedang terjadi padaku. Pada situasi seperti ini, aku mensyukuri sikapnya yang terlalu masa bodo. Hanya pada situasi seperti ini.

“Lagi?” desisku sambil mengangkat kepala perlahan.

Mataku yang sayu efek baru bangun setelah tidur siang selama lima jam menatap nanar tulisan “DITOLAK” pada layar laptop. Untuk yang ketiga kali dalam satu tahun yang baru berlalu setengahnya, aku memasukan lintingan kertas merah dalam stoples kaca di pojok meja belajar. Kian hari, warna merah kian mendominasi. Nyaris tidak tampak satu pun lintingan biru di tengah lautan lintingan merah.

Sejak pertemuan pertama unit sastra tiga tahun yang lalu, cintaku pada puisi perlahan tumbuh. Baru beberapa bulan dinyatakan sah sebagai anggota unit, salah satu puisiku berhasil menjadi puisi terbaik dalam sayembara tahunan unit sastra—penghargaan pertamaku sebagai mahasiswa. Salah satu sonian karyaku—sonian hanya terdiri atas satu bait dengan empat baris yang memenuhi kaidah suku kata 6-5-4-3—berhasil masuk antologi karya yang dikuratori Soni. F. Maulana satu tahun setelahnya. Pada tahun yang sama, ulasanku tentang buku “The Little Prince” menjadi ulasan buku terbaik pada sayembara yang diselenggarakan oleh komunitas baca di Jakarta. Setelah rangkaian pencapaian yang sayangnya masih belum mampu membuat Ibu mengakui keseriusanku dalam menulis—terlebih setelah aku gagal mendapat beasiswa internal—aku dipertemukan lagi dan lagi dengan kegagalan tanpa jeda seolah kesempatanku bersua dengan kemenangan sudah habis.

Aku mengirim tulisan tentang kisah persahabatan masa SMA ke penerbit major bereputasi tinggi dan berakhir dengan surel bertuliskan “DITOLAK” yang dicetak tebal. Mereka menambahkan alasan klise mengapa mereka menolak naskahku: ide cerita yang kurang menarik. Keras kepala, aku mencoba peruntungan di penerbit lain dan sebagai balasannya, hingga dua tahun berlalu, aku tidak kunjung mendapat surel balasan. Ketidakpastian. Sebuah akhir yang jauh lebih klise.

Tahun lalu menjadi tahun yang penuh dengan kesempatan emas. Mengimbangi begitu banyak kesempatan yang kuambil, lintingan kertas merah dalam stoples kaca di pojok meja belajarku mulai menenggelamkan lintingan kertas biru. Aku mengirim tiga cerpen ke suatu penerbit indie—mereka memiliki program mingguan mengunggah cerpen terpilih pada media menulis daring. Ketiga cerpen yang lahir hanya berjeda satu bulan itu kelewat kompak dalam urusan takdir. Seolah tidak ingin saling mengkhianati, ketiganya kompak mengikuti kaum mayoritas.

Dengan semangat menggebu-gebu, menghabiskan tahun terakhirku berusia kepala satu, aku menerima tiga tantangan lomba menulis novel. Tiga tema. Tiga penerbit. Panjang minimal empat puluh ribu kata. Periode lomba tidak lebih dari dua bulan, bahkan ada yang hanya memberi waktu tiga puluh hari. Hari libur pergantian semester kuhabiskan di depan layar laptop. Bunyi jemari beradu dengan keyboard hanya lenyap sesaat pada waktu mengisi ulang kebutuhan kalbu, perut, dan otak. Selebihnya, duniaku menciut menjadi sebatas ragaku dengan dunia yang kuciptakan dalam tulisan. Pengorbanan ribuan jam hidupku yang berharga dibalas dengan fakta aku tidak menemukan namaku pada daftar pemenang. Dan yang terburuk adalah perasaan bahwa aku layak menang dan ketiadaan penjelasan kenapa mereka tidak memberiku kesempatan reuni dengan kemenangan membuatku semakin sulit menerima kenyataan dengan lapang dada.

Usaha keras tidak akan mengkhianati hasil. Keberuntungan hanya untuk orang-orang yang berusaha. Selama hampir dua puluh tahun, aku hidup dengan keyakinan itu.

Aku kira, terbitnya novel solo pertama akan menjadi titik balik kehidupanku. Aku kira, salah peristiwa bersejarah itu akan menjadi awal perjalanan karirku sebagai penulis sukses—janji terhadap diri sendiri yang kuharap tidak akan pernah kuingkari. Aku kira, setelah novel pertamaku terbit dalam satu kali percobaan, akan lebih mudah untuk menerbitkan novel kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Aku kira, setelah novel pertamaku dibaca ribuan orang, selanjutnya aku akan memiliki puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu pembaca. Atau mungkin aku akan memiliki kesempatan menyaksikan karyaku diangkat ke layar lebar dan ditonton jutaan penonton seperti salah satu film adaptasi novel remaja yang sedang dibicarakan orang-orang belakangan ini.

Aku telat menyadari bahwa keyakinan yang terlalu kuat pada segala hal yang menurutku benar perlahan membuatku buta. Aku lupa dengan kenyataan bahwa yang aku yakini hanyalah kata-kata ciptaan manusia, makhluk fana yang tidak mungkin tidak berbuat salah dan itu berarti ungkapan yang mereka ciptakan juga tidak mungkin selalu benar. Aku telat menyadari bahwa apa yang terjadi di dunia ini, apa yang terjadi padaku, tidak akan pernah menurut persetujuan mereka. Mereka tidak pernah ikut andil pada setiap kejadian dramatis, tragis, dan melankolis dalam hidupku. Tidak akan pernah.

“Ditolak lagi?”

Aini tiba-tiba tertarik dengan urusan pribadiku hanya berarti dua hal: dia pura-pura peduli agar aku mau membantunya mengerjakan tugas kuliah atau dia sedang bosan menunggu pesan balasan dari teman-temannya di dunia maya.

“Kak Samara, kamu sedang tidak menggunakan pelantang telinga. Jangan pura-pura tidak dengar.”

Suasana mendadak hening. Hanya suara Ibu sesekali terdengar dari arah dapur sedang asyik mengobrol dengan Bapak. Perkiraanku bahwa Aini menyerah dan kembali mengabaikan keberadaanku salah besar. Gadis berambut ikal itu tiba-tiba meraih bagian atas stoples kaca dan mengguncangnya cukup kuat.

“Hei! Kamu sedang apa—”

“Sebentar.”

Aini mengguncang stoples ke kanan, ke kiri, dan membuatnya jungkir balik sebelum kemudian meletakkannya di tempat semula.

“Lihat.”

Lihat selengkapnya