Sajak semerbak kusuma
Mahakarya dari kuasa yang tak berkemunca
Rama jelma pujangga selalu didamba jiwa
Rabu, 17 Agustus 2016
Tas yang semula melekat kuat di punggung bergerak naik-turun seiring kedua kakiku semakin cepat menyusuri jalan berbatu. Lengah sedikit saja, kerikil-kerikil jahil bisa memberi kenangan memalukan sekaligus tidak terlupakan pada pagi hari pertama ospek. Udara dingin sukses membuatku merapatkan tubuh tiap kali dia menyentuh manja keringat dingin yang membanjiri sekujur punggung dan dahi. Debaran jantung kian liar terlebih ketika mulai tampak dari kejauhan kerumunan orang berpakaian putih abu-abu dalam balutan jaket almamater di tengah jalan yang memisahkan hamparan pohon bambu kuning.
Buru-buru aku mengenakan papan nama dan memasuki barisan perempuan yang belum terlalu ramai. Setelahnya, aku tidak bisa melihat apa-apa sebab panitia dalam balutan kaos merah membara memerintahkan seluruh peserta ospek untuk menundukkan kepala dan memejamkan mata. Aku hanya bisa melihat pemandangan hitam yang perlahan berubah menjadi remang-remang kemerahan karena otot mataku mulai lelah. Sesekali aku mendengar suara sol sepatu tipis bergesekan dengan kerikil disusul suara resleting tas dibuka dengan paksa serta gemuruh panik dan terburu-buru. Begitu perintah panitia mengudara, suasana sontak berubah hening.
Panitia memerintahkan seluruh peserta ospek untuk membuka mata ketika matahari sudah semakin tinggi di ufuk timur. Cahanya yang hangat menembus celah di antara dedaunan bambu kuning. Ratusan peserta ospek berkumpul dan membentuk barisan rapi memanjang hingga ke arena parkir mobil—aku tiba ketika jumlah kami masih bisa dihitung dengan jari. Setelah memperbaiki simpul tali sepatu yang sedikit longgar dan posisi papan nama yang bergeser, aku bergegas mengikuti barisan di depanku berlari menuju lapangan.
Irama hentakan kaki menerjang bumi berkolaborasi dengan desahan napas yang mengalir bersamaan dengan suara angin pagi membuatku semakin bersemangat sekaligus gugup. Tidak terbayang wajah-wajah orang yang akan menjadi teman satu kelompok ospek selama empat hari ke depan. Memikirkan kemungkinan aku tidak bisa dekat bahkan dengan salah satu dari mereka membuat debaran jantungku semakin tidak terkendali. Aku menyesal memutuskan tidak ikut kumpul kelompok dua hari yang lalu dengan alasan sibuk ketika kenyataannya aku memiliki banyak waktu luang yang kuhabiskan dengan merenung.
Kedua mataku refleks membulat ketika sampai di pintu masuk lapangan. Lapangan berumput dikelilingi tanah merah menjelma trek lari sungguh pemandangan yang menggugah semangat di pagi hari.
Ratusan peserta ospek tampak berbaris rapi mengikuti instruksi panitia berkaos biru dengan gambar merpati warna kuning—para mentor. Seperti kondektur angkot yang biasa kutemui di Terminal Ledeng, para mentor bersahut-sahutan menyerukan nomor kelompok sesuai dengan yang tertulis pada pangkal tongkat setinggi nyaris dua meter dalam genggaman kuat kedua tangan mereka. Wajah yang berseri-seri dihiasi bulir keringat kontras dengan beban yang bertengger di pundak mereka. Maksudku, beban dalam arti sesungguhnya dan beban dalam arti tanggung jawab. Dengan tas yang menggembung di punggung, mereka tampak seperti kura-kura.
Setelah menyusuri barisan panjang yang dari dekat tampak seperti tak berujung, aku menghentak napas lega begitu berhasil menemukan barisan kelompok 126. Kak Risa dan Kak Rizka kompak menyambut kedatanganku yang tergolong cukup awal—aku menjadi anggota keempat yang datang. Aku berdiri di urutan kedua dari depan dan harus rela diterpa cahaya matahari yang semakin terasa membakar. Mau bagaimana lagi. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah seorang wanita dan tinggiku sedikit di bawah rata-rata tinggi teman sekelompokku.
Mengikuti gadis berkulit cerah di barisan paling depan, kuletakan tas di atas rumput dan sedikit kusandarkan pada punggung kaki agar tidak jatuh. Selain dari paras cantik khas mojang sunda, namanya yang mengandung unsur pengulangan dan tutur katanya yang halus dan sedikit mendayu, siapa pun akan dengan mudah menebak jati diri teman pertamaku yang akrab disapa Ocha—modifikasi dari nama aslinya, Rosa.
Untuk pertama kali, aku mengikuti upacara kemerdekaan di lapangan berumput yang luasnya berkali-kali lipat luas lapangan sekolahku dulu. Berada di tengah ribuan manusia, aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas ujung tiang bendera. Guyuran sinar terik sang surya membuatku terpaksa menundukan kepala nyaris selama upacara kemerdekaan yang dilanjut dengan upacara pembukaan kegiatan ospek secara resmi oleh sang rektor. Disusul dengan suguhan penampilan unit seni musik dan ditutup dengan menyerukan salam kebanggaan kampus, matahari belum tenggelam tapi kampus ini berhasil membuatku kagum sekaligus terharu.
Sebelum matahari bergerak semakin tinggi, kami digiring menuju tempat berteduh.