Sabtu, 5 Maret 2016
“Selesai...”
Kuangkat selembar kertas di hadapanku dan kupandang gambar yang terlukis di sana dengan mata menyipit. Aku menggeleng pelan. Bibirku tak henti menggumam kagum. Bahkan setelah digambar ulang dengan tanganku yang hanya diasah merangkai kata dan tidak pernah lagi tekun melukis setelah lulus sekolah dasar, logo salah satu kampus terbaik di Indonesia itu memang sangat memesona. Dikatakan sederhana, unsur-unsur simbolik yang menyusunnya sarat akan makna. Dikatakan rumit, logonya tidak melibatkan banyak warna. Sederhana tapi rumit. Rumit tapi sederhana. Apa pun itu, dia berhasil membuatku jatuh cinta sejak pandangan pertama.
“Aku pasti bisa masuk ke sana,” ucapku tegas sembari menunjukkan hasil gambarku pada ibu.
“Benar mau ke sana?” tanya Ibu tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan kedua tangan melakukan akrobat di atas kompor. “Tidak mau coba fakultas kedokteran? Katanya lagi ada program kuliah kedokteran gratis dari pemerintah. Yang penting bersedia mengabdi di rumah sakit mana pun yang ditunjuk pemerintah daerah.”
Dokter. Cita-cita mulia yang satu itu meracuniku sejak aku masih berstatus siswa taman kanak-kanak. Pada umur segitu aku bahkan belum tahu apa yang akan kupelajari di bangku kuliah kedokteran apalagi membayangkan seberapa sulit perjuangan yang harus kulalui sampai pada akhirnya pantas mengemban tugas mulia itu. Seperti anak kecil pada umumnya, yang muncul dalam pikiranku ketika mendengar kata ‘dokter’ adalah orang yang keren, dihormati, dan selalu mengenakan jas putih dan memeriksa pasien dengan stetoskop apa pun penyakit yang diderita si pasien.
Jakarta. Ibukota negara sekaligus tujuan merantau jutaan orang dengan harapan mampu mengubah nasib menjadi lebih baik namun seringkali—bahkan hampir selalu—kenyataan berkata sebaliknya. Yang datang dengan dompet kosong, dompetnya akan tetap kosong atau bahkan raib dibawa jambret di Tanah Abang. Yang datang dengan mobil mewah dan tabungan dengan nominal belasan digit akan menyaksikan kekayaan mereka beranak pinak begitu subur sampai akhirnya terpaksa disebar agar tidak menumpuk di satu tempat. Seperti Aturan Markovnikov, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Kupikir aturan bentukan ilmuwan asal Rusia itu hanya berlaku dalam reaksi adisi alkena asimetris seperti yang diajarkan saat aku kelas tiga SMA.
Umurku baru tujuh tahun saat aku pertama kali memberitahu Ibu tentang cita-citaku kuliah kedokteran di Jakarta. Dan sejak saat itu, Ibu tidak pernah lelah mengingatkan bahwa dia tidak merestuiku mengemban ilmu di sana. Selain karena biaya hidup yang tinggi dan maraknya kejahatan terjadi seperti yang diberitakan di televisi, Ibu khawatir aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan tren pergaulan di sana.
Jangan marah. Aku tidak sekuno itu. Di mana pun ada kesempatan berbuat kriminal, di mana pun ada orang dengan motif berbuat kriminal atau orang yang melihat ada peluang berbuat kriminal, kejahatan pasti terjadi. Bukan berarti ibukota satu-satunya tempat tidak aman. Bukan berarti ibukota sepenuhnya tidak aman. Akan tetapi, aku bisa apa. Aku hanya seorang anak perempuan dari wanita yang belum pernah merasakan kerasnya kehidupan ibukota dan tidak ingin anak gadisnya nekat mencoba.
Memasuki masa sekolah dasar, berawal dari kegemaran membaca cerita dongeng tentang kerajaan, istana, putri, pangeran, dan akhir yang bahagia, aku tidak bisa melewatkan satu hari tanpa menulis. Aku jatuh cinta pada dunia menulis yang romantis sekaligus dramatis.
Dimulai dari ambisi memenangkan sayembara naskah drama saat kelas lima SD dan berkembang menjadi ambisi mewakili sekolah dalam lomba cerita rakyat saat SMP, ambisiku mencapai puncak pada hari-hari menjelang UN SMP: aku ingin menerbitkan sebuah novel.
Kesuksesan menerbitkan novel pertama membuatku yakin Tuhan mentakdirkan aku menjadi penulis, seorang dermawan yang tidak pernah berhenti berbagi kepada dunia melalui kata-kata yang dirangkai dengan indah di atas kertas. Membayangkan hari-hariku diisi dengan menikmati secangkir teh hangat sambil menulis dan sesekali bertemu editor untuk berdiskusi, mimpiku menjadi seorang dokter bernasib sama seperti warna pada foto berumur puluhan tahun: pudar.
“Tidak semua penulis itu lulusan jurusan sastra. Kamu tidak perlu kuliah jurusan sastra dulu untuk bisa jadi penulis,” sanggah Ibu saat aku mengutarakan keinginanku kuliah jurusan Sastra Indonesia.
Saat itu aku baru masuk SMA. Saat itu kecintaanku pada menulis sedang berada pada titik klimaks.
“Kamu lihat penulis-penulis hebat. Mereka datang dari latar pendidikan yang beragam. Ada yang memiliki latar belakang hukum, orang ekonomi, macam-macam. Justru dengan profesimu nanti, peluangmu untuk menulis sesuatu yang berbeda akan semakin besar. Kamu bisa menulis menurut ilmu yang kamu punya. Itu bagus.” Ibu menghela napas singkat. “Menulis itu hobi. Jangan jadikan menulis sebagai satu-satunya profesi.”
Mimpiku menjadi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia kandas dalam sekejap. Tapi mimpiku menjadi penulis tidak padam sedikit pun. Pembelaan Ibu membuatku sadar akan satu hal. Berbeda dengan mimpiku menjadi dokter, mimpiku menjadi penulis nyatanya memiliki tempat tersendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Mimpiku menjadi penulis tidak seharusnya jadi pilihan sebab menjadi seorang penulis adalah sesuatu yang sudah kuputuskan sejak kali pertama aku jatuh ke dalam dunia penuh kata.
Kuliah di jurusan apa pun, aku akan tetap menulis. Apa pun pekerjaanku nanti setelah lulus kuliah, aku akan tetap menulis. Apa pun yang terjadi, aku telah memutuskan untuk jadi seorang penulis.
“Aku tidak yakin bisa bertahan kuliah kedokteran,” elakku.
“Kamu merasa tidak mampu karena belum mencoba.” Ibu tidak gentar membujuk.
“Tapi aku tidak yakin bisa masuk kedokteran,” ujarku beralasan.
“Jangan begitu. Coba dulu saja.”