Titik Temu

Mentari
Chapter #3

Salam Kebanggaan

Sabtu, 20 Agustus 2016

Ribuan pasang mata peserta ospek tertuju ke satu arah, kompak menyambut massa dalam balutan pakaian marching band warna putih dengan sedikit aksen warna biru dan emas. Topi putih lengkap dengan bulu warna senada membantu mereka terlihat bahkan dari barisan paling belakang.

Perpaduan suara ragam alat musik tiup nan nyaring dengan dentuman suara kuarto tom-tom, bass, dan tidak ketinggalan sentuhan kejutan bunyi symbal mengiringi langkah pasukan marching band. Sang mayoret dengan gagah mengalunkan tongkat di udara. Tidak mau kalah, para penari berakrobat dengan bendera warna-warni yang dibawa berdansa di angkasa bersama angin.

Tepuk tangan meriah menggantikan iringan musik marching band saat para pemain telah sampai di depan panggung. Para pembawa bendera semakin lincah menari bersama kibaran bendera. Senyum cerah menghiasi wajah mereka yang tidak sedikit pun terlihat kepanasan padahal matahari sudah cukup tinggi.

Mengikuti di belakang, barisan massa kampus perwakilan himpunan jurusan dan unit kegiatan mahasiswa memasuki lapangan. Lewat pelantang suara, pemimpin acara memperkenalkan satu per satu pasukan yang datang.

Warna-wani jaket himpunan menunjukkan identitas dan jati diri anggotanya. Bendera himpunan yang dikibarkan pasukan di barisan terdepan berhasil menyedot perhatian semua orang. Kedua mataku sibuk mengamati satu per satu bendera yang melintas hingga pada akhirnya aku menemukan bendera dengan logo himpunan yang didominasi warna kuning dan putih. Pasukan yang mengiringinya kompak mengenakan jaket himpunan warna hijau tentara dan berbeda dari yang lain, pasukan mereka didominasi oleh perempuan.

Tidak ingin kalah, massa perwakilan setiap unit berusaha tampil beda dan memberi kesan pertama yang sebaik-baiknya dengan harapan bisa menarik sebanyak-banyaknya minat mahasiswa baru. Bagaimanapun juga regenerasi harus tetap berjalan. Dan tidak memiliki cukup anggota baru untuk membantu mempertahankan nilai dan eksistensi unit menjadi mimpi terburuk yang tidak diinginkan oleh para pendahulu terlebih petinggi unit.

Anggota resimen mahasiswa kompak mengenakan seragam tentara nan gagah. Massa dengan pakaian beberapa karakter film menggugah hasrat mahasiswa baru untuk bergabung dengan unit film—salah satu unit paling tersohor di kampus. Massa unit musik berusaha tampil menarik dengan membawa serta alat musik kebanggaaan mereka sebagai properti. Tidak mau kalah, massa unit kebudayaan daerah tampil mencolok dengan pakaian adat lengkap merangkap hiasan rambut dan tata rias khas daerahnya.

Perhatian seluruh peserta ospek beralih ke arah panggung seiring tiga mahasiswa senior dalam balutan jaket almamater kebanggaan tampak jalan beriringan menaiki panggung. Ketua kongres, pewakilan MWA-WM, dan presiden mahasiswa bergantian berorasi. Semangat yang hanyut dalam setiap kata yang terucap mengalir deras hingga membuat kami, peserta ospek, berdebar-debar.

Menjelang aksi massa, semangat kami kian membara seolah tidak ingin kalah dengan sang surya. Bukan aksi massa biasa seperti yang dilakukan beberapa kampus lain dan viral di media sosial, melainkan aksi massa berupa kegiatan melestarikan lingkungan. Dari atas panggung, pemimpin acara memberi instruksi dibantu oleh para mentor. Hanya dalam beberapa menit kampusku berhasil mencetak rekor baru dengan aku terlibat dalam pencapaian ini. Bukan main. Aku menyaksikan secara langsung perwakilan MURI menyerahkan piagam rekor MURI kepada sang rektor.

Selesai dengan acara di lapangan, kami dibebaskan menjelajahi stan unit kegiatan mahasiswa yang didirikan menyebar di lapangan tenis dan basket. Membantu acara semakin semarak, pertunjukan seni bergantian ditampilkan di atas panggung megah dengan beberapa wahana bermain didirikan di sekitar panggung.

Dekat arena parkir mobil dan motor berdiri kios makanan segala rupa: ada makanan tradisional seperti dadar gulung dan tempe mendoan dijual dalam versi yang lebih mahal, ada pula makanan cepat saji seperti sosis dan roti isi, dan tidak lupa beragam minuman dingin yang langsung kebanjiran pembeli.

Tidak perlu waktu lama sampai aku menemukan stan unit impianku. Di bagian depan stan ada meja yang memperlihatkan puluhan buku dengan sampul menarik. Di sisi stan berkibar bendera unit, bersisian dengan senior yang kebagian tugas jaga stan.

“Selamat datang!”

Senior wanita menyapaku, Sintia dan Linda—mereka sekelompok ospek denganku dan kebetulan tertarik mendaftar unit seni—dengan ramah. Tidak hanya memberi stiker gratis, dia bahkan mempersilakan kami melihat-lihat dan membaca beberapa buku yang tersaji di atas meja. Aku tergerak melihat isi buku dengan sampul warna biru tua dengan sentuhan retro yang diletakkan di bagian tengah. Sejak awal buku itu mencuri perhatianku.

Kertasnya sudah mulai menguning efek tempat menyimpan dan usia. Aku bisa mencium aroma lembab tiap kali menyibak lembaran kertasnya yang sedikit kaku dan bergelombang. Tipe tulisannya menggugah untuk dibaca sampai habis. Bahkan di beberapa halaman tertentu tersaji ilustrasi sederhana sebagai pendukung.

Bahkan setelah beberapa menit, di bawah terik matahari, senior perempuan itu masih setia menemaniku.

“Siapa saja yang bisa ikut menulis buku seperti ini?” tanyaku penasaran.

“Anggota unit. Siapa pun bisa menyumbang karya. Nanti dipilih mana saja yang akan dibukukan.”

Setelah menelisik beberapa halaman awal, aku menyadari satu hal.

Lihat selengkapnya