Titik Temu

Mentari
Chapter #4

Zona Nyaman

Agustus 2016

Hembusan napas paksa bergantian dengan desahan gelisah semakin tidak terkendali seiring jarum panjang mendekati angka dua belas. Kurang dari sepuluh menit lagi acara unit sastra akan dimulai dan Tiwi belum juga tampak batang hidungnya.

Hampir setengah jam aku duduk pada bangku di bawah menara jam berdampingan dengan mahasiswa senior—sepertinya—berambut keriting yang kemudian berlalu setelah kedatangan temannya. Ketika ujung jarum panjang jam menyentuh angka sebelas, Tiwi muncul dari arah aula timur. Atasan warna pastel yang dia kenakan senada dengan jilbab yang melingkar di wajahnya yang cerah.

Awalnya aku tidak tahu Tiwi mendaftar unit yang sama. Dan aku tidak memiliki cukup niat untuk mencaritahu siapa saja anak di fakultas farmasi yang juga mendaftar unit sastra. Beberapa hari sebelum jadwal pertemuan calon anggota unit sastra, Tiwi menghubungiku dan mengusulkan agar kami datang bersama. Tentu saja aku menerima ajakannya. Berteman dengan orang baru di sebuah pertemuan memang menyenangkan. Tapi datang bersama seorang teman ke sebuah pertemuan itu menenangkan.

“Maaf Samara, lama menunggu ya?” Tiwi tampak tidak enak hati.

“Tidak kok, tidak apa-apa. Sebentar lagi acaranya mulai. Yuk.”

Setelah menyusuri jalan utama yang memisahkan dua lapangan, memanjat anak tangga yang memisahkan dua gedung pertemuan mahasiswa, menyusuri jalan setapak taman yang memisahkan empat labtek, mengikuti jalan lurus yang memisahkan gedung kuliah umum dan berujung pada belokan di antara laboratorium fisika dasar dan gedung listrik, kami tiba di depan gedung tua yang sedang direnovasi. Katanya lantai atas akan dibangun jadi laboratorium komputer sementara lantai dasar dibiarkan sebagai tempat sekretariat unit—unit kebudayaan minang, unit teater, unit kebudayaan irian jaya, dan tentu saja unit sastra.

Pada ruang terbuka dekat sekretariat unit sastra beberapa orang duduk melingkar. Aku melihat senior perempuan yang waktu itu menyambutku di stan mereka. Ck, dia memang tahu betul cara membuat siapa pun terpesona. Aku menyukai kombinasi pakaian yang dia kenakan pada hari kami pertama kali bertemu. Tetapi, aku jauh lebih menyukai kombinasi pakaiannya kali ini: rok selutut, atasan polos dan outer motif bunga. Tumit alas kakinya sedikit tinggi dan bergaya klasik. Terlihat sederhana tapi menimbulkan kesan luar biasa.

Aku dan Tiwi duduk dekat jalan sempit yang memisahkan gedung dengan taman. Aku buru-buru melambai rendah pada Linda yang duduk tepat berseberangan denganku. Aku juga bertemu beberapa teman sefakultas: Tania—mahasiswi farmasi asal Jambi—yang sekelas denganku di kelas kimia dasar I dan Sani—mahasiswi farmasi asal Jawa Timur—yang beberapa kali duduk pada baris yang berdekatan denganku di kelas kalkulus I.

Waktu sudah menunjukan lewat pukul empat sore—waktu yang dijadwalkan untuk pertemuan perdana ini. Setelah cukup ramai, beberapa senior datang bergabung: Kak Aldi satu-satunya yang berkacamata, senior perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Tuti, Kak Asri dengan senyum manis tidak pernah lepas dari wajahnya yang terlihat ramah, dan Kak Okto yang menjabat sebagai ketua unit.

Kak Okto menyampaikan kata sambutan dengan penuh semangat sambil sesekali menyapu rambutnya yang agak gondrong ke belakang. Cukup sering sehingga lebih tampak seperti latah.

Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu mengawali kegiatan pada sore yang sedikit mendung dan dingin. Sebagai anggota baru, kami diberi kesempatan memperkenalkan diri. Tidak seperti pertemuan pada umumnya—calon anggota hanya diberi kesempatan memperkenalkan nama dan asal fakultas. Nama itu penting. Fakultas? Entahlah. Barangkali untuk ajang arogansi—kami juga diberi kesempatan menceritakan sedikit tentang penulis atau buku favorit kami.

Wajah beberapa orang mulai berubah serius, sebagian besar justru tampak bingung. Setelah membaca begitu banyak novel dari begitu banyak penulis, tidak mudah menentukan buku atau penulis yang paling disukai. Tetapi, aku berbeda. Meskipun terbuka pada karya siapa pun dan untuk jenis cerita apa pun, aku menaruh perhatian lebih pada satu penulis.

Acara perkenalan yang kupikir akan berlangsung begitu lambat dan membosankan ternyata begitu mengesankan. Setiap kali menemukan orang dengan selera karya dan penulis yang sama, kami akan mengangkat tangan dan berseru setuju. Beberapa menyebutkan karya Tere Liye, Stephen King, bahkan beberapa mengaku mengikuti kisah Detektif Poirot karya Agatha Christie.

“Hai, perkenalkan namaku Rena dari sekolah ilmu dan teknologi hayati.”

Rena bertubuh mungil dengan rambut ikal yang dipotong sangat cepak. Orang-orag akan menyebut gaya rambutnya semacam... hit or miss. Dan untuknya, dia jelas sangat cocok untuk gaya rambut seperti itu. Kedua matanya yang bundar terlihat semakin bersinar.

“Aku... bingung sih kalau disuruh memilih buku atau penulis favorit karena aku baca banyak genre dan dari banyak penulis.” Rena melanjutkan.

Dalam waktu singkat, Rena mengutarakan beberapa karya berkesan yang pernah dia baca.

“Aku juga suka novel thriller  seperti In Cold Blood karya Truman Capote.”

“Aku juga suka In Cold Blood!” seruku.

Aku nyaris melompat rendah dari tanah karena terkejut. Aku setengah tidak menyangka bisa kelepasan menimpali ucapan Rena—aku sekelas dengannya untuk mata kuliah pengantar rekaya desain tapi kami tidak pernah mengobrol. Senyumku tanpa sadar perlahan terbit ketika kulihat dia semakin bersemangat menyebutkan daftar buku yang pernah dia baca setelah aku menimpali ucapannya.

Sejak dulu aku memiliki ketakutan dalam memutuskan hal-hal penting. Aku takut memilih pilihan yang salah dan pada akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyesal dan pasrah untuk tetap melanjutkan hidup karena seperti kata orang-orang, show must go on.

Semakin usiaku bertambah, aku sadar bahwa aku harus terbiasa menentukan pilihan di antara alternatif pilihan yang menyulitkan. Kejadian sore ini membantu meningkatkan sedikit rasa percaya diriku untuk berani membuat keputusan. Keputusanku berjuang hingga bisa menjadi mahasiswa kampus ini mempertemukanku dengan Nino. Keputusanku mendaftar unit sastra mempertemukanku dengan beberapa teman yang memiliki selera yang sama. Meskipun dengan berat hati aku harus menerima kalau Nino bukan salah satu di antaranya.

Sudah terbayang dalam pikiranku betapa menyenangkan berkumpul dan dan saling mempengaruhi teman untuk menyukai buku yang kita sukai. Aku senang memiliki teman untuk berbagi.

“Ya, selanjutnya.”

Kuhela napas panjang. Taktik dari Ibu untuk menghilangkan rasa gugup ketika harus berbicara di depan banyak orang selalu manjur. Syukurlah.

“Perkenalkan, nama saya Samara Citra Annora, biasa dipanggil Samara. Saya dari fakultas farmasi dan penulis kesukaan saya adalah Andrea Hirata. Salah satu novel karya beliau yang paling saya sukai adalah Ayah.”

Setelah anggota terakhir selesai memperkenalkan diri, Kak Okto beranjak dan melangkah ke tengah lingkaran. Senior dalam balutan jaket unit warna cokelat tanah itu menundukkan kepala beberapa saat sebelum kemudian suaranya yang melengking memecah kesunyian.

Sebelah tangannya yang tidak menggenggam secarik kertas bergerak bebas—menari bersama hembusan angin sore yang sejuk menjelang datangnya musim hujan. Dinamika suaranya yang naik-turun saat membacakan puisi bertajuk hewan peliharaan berhasil mengendalikan emosiku. Sedih, marah, senang, aku bisa merasakan semuanya. Tidak kalah variatif dengan dinamika suaranya yang khas, perubahan ekspresi wajah Kak Okto dan bahasa tubuhnya yang memukau—seolah bersemayam di dalamnya berjuta jiwa—berhasil membuatku menganga kagum. Pada panghujung tarikan napasnya, tepuk tangan meriah mengudara tak terelakan.

Lihat selengkapnya