Titik Temu

Mentari
Chapter #5

Lebih Luar Biasa

Sabtu, 3 September 2016

Bangun saat adzan Subuh berkumandang dari musala belakang rumah dan menahan diri untuk tidak kembali menenggelamkan diri di balik selimut adalah dua hal yang paling sulit untuk dilakukan, terlebih pada akhir pekan. Tidak cukup hanya dengan rasa kantuk yang menggantung di kedua mata, udara dingin yang menjadi jodoh sejati selimut tebal dan kasur empuk ikut-ikutan menguji kesabaran. Kalau bukan karena pertemuan perdana komunitas mengajar di kampus, aku tidak akan mau bersusah payah melawan rasa kantuk yang semakin dilawan semakin kurang ajar.

Ayah dan Ibu belum kembali dari alam mimpi ketika aku pamit pergi. Jangan tanyakan bagaimana adik perempuanku. Dia tidur begitu pulas sampai-sampai tidak terganggu sama sekali saat aku membuat kegaduhan mencari baju hangat di dalam lemari. Posisi tidurnya tidak berubah sedikit pun.

 Matahari pagi menyambut orang-orang terpilih yang mampu terjaga dan menyapa dunia bahkan saat semburat fajar masih terlihat samar-samar di ufuk timur. Kehangatannya memberikan kenyamanan padaku yang sedari tadi merapatkan tubuh di kursi pojok angkutan kota. Hembusan udara pagi dari jendela angkutan yang terbuka lebar di kedua sisi berhasil membuat telapak tanganku mati. Bagaimana tidak, sang supir melajukan kendaraannya dengan semangat seorang pembalap. Dan saat mobil hijau tua berkode 05 itu melewati belokan curam dekat pom bensin, kurasakan efek gravitasi mendadak hilang.

Aku jatuh tersungkur dengan posisi bersimpuh setiap kali supir menginjak pedal rem mendadak untuk mengangkut penumpang. Wanita tua yang duduk pada sisi yang berseberangan—dia duduk tepat di belakang supir dan sepanjang perjalanan berpegangan pada karung goni besar berisi kubis—meringis prihatin melihat tubuhku terombang-ambing seperti kapal kayu rapuh di tengah laut saat badai. Dan yang terburuk, ketika angkutan kota berhenti mendadak di depan halte dekat belokan jalan menuju SECAPA AD, tubuhku terlempar dan menghantam wanita yang duduk di dekat pintu sampai-sampai dia nyaris terlempar keluar.

“Ma-maaf, Bu.” Bibirku bergetar tidak kalah hebat dengan kedua kakiku yang sekuat tenaga mencoba berdiri—efek kedinginan dan takut wanita itu akan memarahiku habis-habisan di depan seluruh penumpang.

Jantungku berdebar kencang saat teriakan wanita dalam balutan pakaian olahraga serba merah muda itu mencuat memecah keheningan. Menjadi satu-satunya orang yang layak bertanggung jawab, supir sontak jadi sasaran empuk emosi yang meletup-letup dan tak terbendung padahal hari masih terlalu pagi. Seperti bara api yang ketetesan bensin, supir dengan tindik telinga itu semakin liar melajukan mobilnya, seperti menantang maut. Bahkan saat melewati turunan di pertigaan Pasar Ciumbuleuit, mobil tidak sedikit pun melambat dan sukses membuat seluruh penumpang menjerit ketakutan.

Lagi-lagi sang supir menginjak pedal rem dengan mendadak setelah aku meneriakan ‘Kiri!’ dengan ekstra—aku khawatir pendengaran supir itu sedikit terganggu. Angkutan kota berkode 05 itu berhenti tepat di atas jalur penyeberangan depan Kebun Binatang Bandung. Hingga aku menginjakkan kaki di tanah dan menyerahkan selembar uang lima ribuan lewat jendela depan, wanita berpakaian olahraga itu belum berhenti menggerutu.

Baru akan menarik napas panjang, jarum panjang yang nyaris menyentuh angka dua belas memaksaku melebarkan langkah. Aku harus sampai di tempat pertemuan dalam lima menit atau aku akan dicap ‘TUKANG TERLAMBAT’ dan itu berarti semakin kecil kesempatanku diterima sebagai anggota komunitas.

Kalau kalian mengira aku mendaftar sebagai anggota komunitas mengajar karena suka mengajar, kalian salah besar. Meskipun kampus memiliki puluhan unit kegiatan mahasiswa dan beberapa komunitas dengan pesonanya masing-masing, sejak awal aku hanya tertarik pada unit sastra. Kenyataan itu membuatku sulit memahami beberapa temanku yang memutuskan mendaftar sebagai anggota di beberapa unit sekaligus—bahkan ada yang tanpa berpikir panjang menuliskan namanya pada buku calon anggota di hampir sepuluh unit. Dengan niat serius atau pun coba-coba atau barangkali hanya ingin terlihat sibuk. Entahlah, beberapa orang menganggap orang sibuk lebih keren. Aku bukan salah satunya.

Begitu tahu aku mendaftar unit sastra, Ibu mendadak alih profesi menjadi—apa istilah yang dipakai di novel-novel misteri—prosecutor. Dapur dengan lampu remang-remang tidak kalah mencekam dibandingkan ruang interogasi seperti yang ada di film layar lebar. Aku duduk di depan meja makan dengan kepala tertunduk dan kedua tangan terjalin di atas pangkuan. Aku berani taruhan, di mata Ibu, aku terlihat sangat menyedihkan dan tak berdaya.

Mata tajam Ibu tidak lepas sedetik pun dariku. Seperti gerbong kereta api, pertanyaan tidak henti terlontar dari mulutnya tanpa cukup jeda untukku menjawab, apalagi untuk membela diri.

“Kenapa, sih kamu pilih unit sastra?”

“Soalnya—”

“Apa tidak ada unit lain misalnya... unit penelitian? Atau unit debat? Atau unit yang bisa membantumu lebih pintar berbahasa Inggris?”

“Ada, tapi—”

“Terus kenapa kamu tidak daftar? Setidaknya kamu bisa mendapatkan ilmu yang berguna untuk masa depanmu nanti.”

“Bu, aku tidak—”

“Unit sastra itu.... apa saja kegiatannya?”

Lihat selengkapnya