Sabtu, 15 Oktober 2016
Aku baru saja sampai gerbang depan selepas mengikuti pertemuan mingguan komunitas mengajar ketika Sali, salah seorang teman sefakultasku memberi tahu lewat aplikasi pesan kalau wawancara beasiswa dimajukan jadi hari hari ini tepat jam satu siang. Satu jam lagi.
Setelah beberapa minggu menjadi penghuni kampus, aku menyadari satu perbedaan antara kampus dengan sekolah: gerbang kampus selalu terbuka. Bahkan kalau dibandingkan hari lain, pada akhir pekan kampus terasa lebih hidup terutama di titik utama peradaban mahasiswa: gedung pusat barat. Ruang sekretariat unit yang berjejer rapi di lantai bawah tanah dan lantai dasar tidak pernah kesepian pengunjung. Sebaliknya, bahkan seringkali tidak cukup ruang untuk tempat berkumpul anggota-anggotanya yang memegang komitmen tinggi. Mulai dari unit kesenian jawa, unit kebudayaan sunda, unit robotika, sampai ruang sekretariat kabinet kemahasiswaan.
Dari lantai dasar gedung pusat barat, aku menuju lantai bawah tanah lewat tangga yang memisahkan gedung menjadi dua bagian: sayap barat dan timur. Di depan pintu kantor lembaga kemahasiswaan, orang-orang berdiri membentuk satu baris yang meliuk-liuk seperti ular pada papan permainan ular tangga. Jadwal wawancara calon penerima beasiswa tertempel pada pintu—aku kebagian nomor urut delapan.
Setelah menghabiskan nyaris satu jam berdiri di depan pintu dalam keadaan perut kosong, giliranku tidak kunjung tiba. Lebih buruknya lagi, barisan yang semakin panjang ini bahkan tidak bergerak sama sekali. Beberapa petugas dalam balutan pakaian rapi bergantian keluar-masuk ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca itu dan tidak ada satu pun di antara mereka bisa menjawab pertanyaan ‘kapan wawancaranya dimulai?’.
“Sali, apa benar wawancaranya di sini?” tanyaku memastikan.
“Seharusnya begitu. Tetapi, kok belum mulai, ya?” jawab Sali tidak yakin. Wajah gadis itu terlihat lebih pucat dari biasanya. Kutebak, dia pasti sudah menunggu lebih lama di sini. Dan di tengah ketidakpastian, menunggu satu menit terasa sangat menyiksa.
Aku yang sempat duduk bersandar pada dinding karena lelah berdiri buru-buru beranjak saat seorang wanita keluar dari kantor berpintu kaca yang lain dan menghampiri kerumunan di depan kantor lembaga kemahasiswaan.
“Wawancaranya pindah tempat. Beberapa orang di ruangan sana,” Wanita itu menunjuk ruang kaca dekat pintu bawah tanah, “dan sebagian lagi pindah ke lantai bawah tanah gedung pusat timur.”
Aku dan Sali mengikuti wanita itu menuju lantai bawah tanah gedung pusat timur. Menjadi dua orang pertama yang hadir, kami mendapat kesempatan wawancara lebih awal.
“Hai.”
Pria berambut cepak dengan kemeja dan rompi abu-abu menyambutku bahkan saat aku belum sempat mendaratkan tubuh di atas kursi.
“Namanya siapa?”
“Samara. Samara Citra Annora.”
“Hai, Samara. Aku Adli. Kalau boleh tau, kenapa kamu memutuskan daftar beasiswa?”
Aku sering mendengar cerita orang tua melakukan segala cara demi anak-anaknya bisa merasakan duduk di bangku kuliah. Ada yang memutuskan menjual sawah, menjual rumah, beternak, menggadaikan perhiasan, atau bahkan meminjam uang ke bank dengan nominal yang fantastis. Hal yang lumrah, menurutku. Biaya kuliah tidak mungkin sedikit. Belum lagi kalau harus merantau. Paling tidak harus keluar biaya tambahan untuk menyewa kamar kos.
Dengan Bapak sebagai satu-satunya sumber penghasilan ditambah penghasilannya sangat bergantung pada penjualan toko roti tempat dia bekerja, membayar biaya kuliah tidak kurang dari sepuluh juta tiap semester tidak mungkin mudah. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Nyatanya, pemerintah ingin memberi kesempatan bagi semua orang untuk berkuliah. Beasiswa bidikmisi menjadi salah satu jalan tapi orang sepertiku tidak cukup pantas menerimanya.
“Pak, di sini ada keterangan bahwa mahasiswa bisa mengajukan keringanan biaya kuliah. Jadi, biaya kuliahnya bisa disubsidi.”
“Oh iya?”
“Iya. Walaupun kecil kemungkinan bisa dipangkas sampai setengahnya, setidaknya jadi lebih murah. Sedikit.” Aku menunjukkan hasil temuanku di internet pada Bapak yang baru saja pulang kerja. “Gimana, Pak? Aku ikut mengajukan juga atau bagaimana?”
“Tidak usah. Biar keringanannya untuk yang lain saja, untuk yang lebih membutuhkan. Kalau untuk uang kuliah, Inshaa Allah, Bapak ada uang.”