"Bu Mutia dimana?" tanya Indira begitu sampai di sebuah rumah bergaya belanda tersebut kepada seorang perempuan yang merupakan asisten rumah tangga.
"Sejak tadi pagi, Ibu ada di ruang kerja. Non Indira langsung saja ke sana."
Indira mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke ruang kerja Bu Mutia. Sampai di depan ruangan, rupanya pintu tak tertutup dengan sempurna sehingga ia bisa melihat Bu Mutia sedang berbicara di telepon. Ketika berbalik badan, Bu Mutia menyadari kehadiran Indira dan memintanya masuk dengan lambaian tangan. Paham akan instruksi tersebut, Indira segera melangkah perlahan masuk ke ruang kerja.
Tak perlu menunggu terlalu lama, Bu Mutia segera menyelesaikan panggilan tersebut. Ia memandang Indira dengan tatapan bahagia. Sesuatu yang baik sudah terjadi, pikir Indira.
"Kita akan membuat buku lagi, Indira.." Bu Mutia memberitahu Indira sambil duduk di kursi kerjanya.
"Wow. Bu Mutia sudah mendapatkan ide cerita baru lagi? Sungguh, tahun ini Ibu amat sangat produktif."
"Bukan ide ceritaku. Ini ide cerita yang pernah kamu sampaikan tempo hari."
"Ma..maksudnya?"
"Kamu lupa beberapa waktu yang lalu, kamu menyampaikan sebuah ide cerita yang bisa dibilang menarik. Dan.. aku ingin membantu menerbitkannya."
"Ap..pa? Ide cerita saya?"
"Tentang seorang anak kecil yang berpetualan di negeri raksasa. Kamu inget tentang hal ini?"
Indira memaksa otaknya bekerja untuk mengingat - ingat tentang ide cerita yang dilontarkan oleh Bu Mutia. Seperti sebuah film yang diputar secara cepat di dalam kepalanya, Indira berhasil mengingat ide cerita tersebut dan kemudian perasaan tidak enak muncul di dadanya.
"Ini yang itu maksudnya?"
"Kenapa kamu jadi gagu seperti ini, Indira? Tentu ini tentang ide ceritamu yang cemerlang itu."
Indira terdiam. Apakah dirinya yakin tentang hal ini?
"Lama - lama aku kesal dengan kamu. Apakah kamu masih ragu dan tidak mau menyadari bahwa kamu punya bakat di bidang ini, Indira?"
"Hanya saja... Rasanya aneh mendengar ide cerita saya akan diterbitkan, sedangkan itu hanya ide asal - asalan yang terlintas di kepala saya, bahkan saya hampir melupakannya."
"Itu artinya kamu berbakat di bidang ini. Tidak hanya menggambar saja."
Indira kembali terdiam.
Rasanya aneh bila seseorang mengatakan bahwa kamu berbakat tapi diri sendiri tidak menyadari hal itu. Inilah yang dirasakan Indira.
"Aku hanya tukang gambar," ucap Indira pelan ketika ia tak tahu harus berkomentar apalagi.
"Kamu selalu mengecilkan dirimu sendiri."
Indira mengusap tengkuk belakangnya. Tanda bahwa ia perlu menenangkan diri. Bu Mutia pun menghela nafas dan kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi kerjanya.
"Indira, saya ada disini untuk membantu kamu. Ini adalah percakapan yang sudah sering kita lakukan. Saya tahu kamu berbakat juga menjadi seorang penulis. Artinya kamu memiliki bakat lebih dari satu. Kamu itu istimewa, Indira.."
Indira tersenyum masam, "Jika saya istimewa, saya merasa terbebani."
Bu Mutia paham arah pembicaraan Indira, "Jika kamu tidak istimewa dan saya salah sangka, lalu orang seperti apa yang bisa dikatakan istimewa? Orang seperti sayakah? Kamu harus ingat dibalik kesuksesan saya pun, saya juga memiliki sisi gelap, Indira."
Indira terhenyak. Perkataan Bu Mutia barusan membuat dirinya mengingat kembali apa yang telah terjadi di dalam kehidupan Bu Mutia. Ia merasa sedikit malu untuk bersikap sombong atas penderitaan yang telah ia alami. Jika ditelaah kembali, pengalaman hidup Indira tidak ada apa - apanya dengan Bu Mutia.
"Saya mau kamu berubah. Kehidupan kamu masih panjang," pesan Bu Mutia.
******
Mobil Arya memasuki sebuah gerbang dari rumah megah bergaya mediteranian. Rumah tersebut adalah rumah dari kakek Arya. Malam ini, Arya berjanji untuk ikut makan malam bersama keluarganya. Bukan tanpa maksud lain, Arya yang biasanya malas sekali berkumpul bersama keluarga, kali ini mau repot - repot mendatangi rumah kakeknya, karena ia ingin memperlihatkan bahwa dirinya baik - baik saja, bahkan ia tak akan merasa terganggu dengan adanya berita - berita simpang siur di luar sana. Dengan begitu, ia tak akan terlihat lemah, bahkan di depan keluarganya sendiri.
"Well, siapa yang baru saja datang ini?" sapa Kakek William, yang melihat kehadiran Arya di ruang makan nan megah itu.
Kedua orang tuanya, Widya dan Jatmiko, memandangnya dengan tatapan campur aduk. Arya tahu, kedua orang tuanya pasti sudah menyimpan banyak pertanyaannya yang ingin mereka lontarkan kepadanya.