KAMIS, tanggal 03 Oktober 2020. Pukul 06.00 Wita, jalan Sukaria Raya, kota Makassar. Kamar-kamar berjajar rapi juga simetris, membentuk deretan panjang yang artistik. Pintu-pintunya berwarna coklat muram, pertanda umurnya sudah tak muda lagi. Pintu-pintu itu terlihat hingga ke sudut bangunan. Pada setiap daunnya terlihat jelas angka desimal yang ditulis dengan cat kayu berwarna putih. Memberi kesan pembuatan yang asal-asalan. Angka-angka desimal itu berguna menunjuk urutan deret setiap kamar agar penghuninya tidak salah masuk, juga memudahkan pengelolanya menagih uang pembayaran. Tepat di samping masing-masing pintu muram itu, tergeletak simetris jendela-jendela yang cantik. Penuh pesona dengan gorden motif bunganya yang menarik. Sayang, gorden-gorden itu terlihat kurang terawat dari debu, atau mungkin dari tangan-tangan jahil yang menjadikannya lap tangan setiap kali selesai makan. Memberi kesan bahwa kebanyakan penghuninya tidak mengamalkan slogan kayu, “Jagalah kebersihan!” yang tertempel malas di dinding luar salah-satu kamar. Deretan kamar yang akrab disebut, “Kontrakan” itu benar-benar tampak kotor dan tak terawat.
Tepat di depan salah-satu pintu kamar‒paling ujung‒kontrakan tadi berdiri seorang gadis yang manis. Ia tampak gelisah dan kebingungan. Sedari tadi tak ada yang menjawab dari dalam kamar yang diketuknya. Kamar itu terlihat gelap dari luar. Pintu dan jendelanya sama saja dengan kamar yang lainnya. Bedanya hanya pada angka delapan dan kain gorden jendelanya yang tertutup serta meninggalkan sedikit celah untuk mengintip ke dalam. Namun, tetap saja celah itu belum cukup untuk melihat keseluruhan kamar itu dari luar.
“Kar, halo! Apa kau ada di dalam?” tanya gadis itu sambil terus mengetuk pintu. Ia tampak cemas karena sejak kedatangannya tak ada jawaban sama sekali. Beberapa menit berlalu dan masih tidak ada jawaban juga dari dalam. Akhirnya, kesabaran gadis manis itu pun habis. Ia memegang gagang pintu dengan kuat dan berusaha masuk. Perlahan suara decitan terdengar ketika ia membuka pintu. Gadis itu tiba-tiba diselimuti perasaan curiga. “Kenapa tidak dikunci?” pikirnya, karena pintu tersebut ternyata tak terkunci sama sekali.
“Karrr!” katanya pelan sembari berjalan masuk ke kamar kontrakan yang gelap. Ia berusaha mencari-cari temannya. Namun, sama sekali tak ada jawaban. Gadis manis itu hanya melihat samar-samar bayangan seseorang yang duduk di kursi. “Ahhh, kau di sana rupanya! Kenapa tidak menjawabku?” kata gadis itu lega melihat temannya. Namun, tak seperti yang ia harapkan, temannya itu tetap diam tak menjawab. “Gelap sekali, biar kubuka gordennya supaya terang!” katanya lagi. Temannya masih juga tak bersuara. Gadis itu pun berjalan ke arah jendela dan membuka gorden. Membuat cahaya matahari dari luar seketika bertebaran dalam kamar yang luasnya hanya sepuluh meter persegi itu. Setelah membuka gorden, gadis itu pun segera berbalik melihat temannya.
“Ahhhhh!” gadis itu tiba-tiba berteriak dengan keras. Sangat keras hingga penghuni kontrakan lain kaget dan bergegas mencari sumber suara. Tak berselang lama, beberapa orang sampai di kamar nomor delapan ujung itu. Tempat di mana gadis manis tadi berteriak histeris. Mereka mendapati gadis itu terduduk di sana sembari terus menangis melihat pemandangan mengerikan di depannya. Seorang pria muda yang merupakan penghuni kamar delapan, dengan kata lain teman baik gadis itu, terlihat duduk bersimbah darah di sebuah kursi. Pria itu telah terbunuh dengan mata yang terbuka lebar. Pakaiannya yang putih terlihat berubah berwarna merah mencekam. Lantai di bawahnya, yang tadinya juga berwarna putih, kini berwarna merah buah saga. Melihat pemandangan mengerikan itu, salah seorang pria dari kamar nomor lima segera menelepon polisi. Tak lama, polisi akhirnya sampai dengan membawa mobil bersuara yang memekakkan telinga: ambulan.