Titik Temu

Ali Wardani
Chapter #2

Sidik

SIDIK terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia membuka matanya dengan amat malas. Tangannya mengerayapi sebuah meja tepat di samping tempat tidurnya. Mencari-cari sumber suara yang membangunkannya dari mimpi yang indah. Ia pun berhasil mengambil benda bersuara yang membangunkannya itu. Bersama perasaan malas dan kantuk yang masih menyelimuti, Sidik mengangkat panggilan masuk di ponselnya yang ribut. “Halo! Iya, hmmm. Oke, aku akan ke sana setelah sarapan!” kata Sidik langsung memutus sambungan ketika orang yang meneleponnya masih berbicara. Setelah menaruh kembali ponselnya ke atas meja, Sidik terdiam sejenak di atas kasurnya yang nyaman. Ia terlihat memikirkan sesuatu. Akhirnya, setelah satu tarikan napas yang malas, Sidik bergegas mandi kemudian memakai pakaian. Badannya yang kurus namun berotot sangat tampak karena memakai kaus putih yang agak tipis. Matanya yang tajam terlihat menyala ketika ia memakai kacamata. Setelah berpakaian dan sedikit sarapan dengan mie instan, Sidik berangkat bekerja.

*

Pukul 09.00 Wita, TKP Pembunuhan. Sidik sampai dengan sepeda motor hitamnya yang terlihat kotor. Pertanda ia jarang mencucinya. Sidik bergegas ke sebuah kontrakan di daerah Sukaria Raya, Makassar. Ia berjalan pelan ke ujung kontrakan itu, menuju sebuah kamar bernomor delapan. Sesampai di sana terlihat beberapa polisi menjaga TKP dari banyaknya warga yang ingin tahu serta jurnalis yang meliput kejadian itu. Garis polisi dipasang beberapa meter dari pintu kamar tersebut. Menjaga agar siapa saja yang tak berkepentingan tidak memasukinya. Bersama rambutnya yang sedikit berantakan, Sidik berjalan pelan dan memasuki TKP.

“Maaf, Pak! Tidak boleh masuk di TKP!” kata salah seorang polisi yang berjaga, menahan Sidik tepat di depan garis polisi. Sidik hanya terdiam, menatap polisi itu lamat-lamat. Tiba-tiba seorang polisi wanita keluar dari dalam TKP dan menghampiri mereka. “Maaf, Pak! Di sini terjadi kasus pembunuhan. Warga setempat dilarang masuk!” kata polisi wanita itu menambahkan. Lagi-lagi Sidik hanya diam dengan mata yang sinis. Tanpa sepatah kata, ia mengambil ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Tak berselang lama ketika Sidik berhenti menelepon, seorang laki-laki berpakaian rapi keluar dari TKP.

“Ahhh, kau sudah di sini! Hei, biarkan ia masuk!” kata laki-laki gemuk itu memerintah polisi dan polwan tadi. Kedua polisi tadi―penjaga TKP dan polisi wanita―kebingungan dengan kejadian yang mereka alami. Mereka tak habis pikir mengapa manager tim Inafis[1] memperbolehkan seorang warga sipil memasuki TKP. Tanpa peduli pada kedua polisi kebingungan itu, Sidik mengikuti manager Inafis memasuki TKP. Polisi wanita tadi mengikuti mereka berdua. Sedang polisi penjaga tadi tetap pada tempatnya ditemani rasa bingung.

“Hei! Siapa perempuan itu? Aku baru melihatnya?” tanya Sidik berbisik kepada manager tim Inafis yang tak lain adalah temannya itu.

“Petugas baru! Dia cukup hebat, tapi masih perlu banyak pengalaman. Dia akan jadi rekanmu di kasus ini!” jawab manager Inafis.

“Apa?” Sidik kaget dan tanpa sadar suaranya meninggi. “Hei! Bukannya sudah kubilang? Aku lebih suka sendiri!” kata Sidik melotot. Polisi wanita tadi terus mengamati mereka berdua. Ia masih bingung karena manager tim Inafis terlihat sangat akrab dengan lelaki kurus yang baru datang itu.

Lihat selengkapnya