Titik Temu

Ali Wardani
Chapter #3

Analisa

TEPAT di depan kantor kepolisian kota Makassar, klakson mobil saling bersahutan membuat jengkel setiap telinga yang mendengarnya. “Wooii, jalan!” teriak mulut yang tak sabar dengan keluhan telinganya. Tak lama, asap knalpot pun menyeruak di antara kerumunan kendaraan. Menutup pandangan pejalan kaki yang akan menyeberang jalan. Suara klakson bising dan asap knalpot itu sudah seperti konspirasi kecil unik antara hujan dan awan. Saling terikat satu dengan yang lain. Peristiwa itu menarik perhatian seorang polisi yang tengah mengamatinya dari lantai dua kantor polisi. Sedangkan bagi orang lain, peristiwa itu tak lebih dari kemacetan yang sangat mengganggu.

“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya Ita mengagetkan Sidik yang tengah mengamati kemacetan dari jendela ruang kantor. Sidik hanya melirik sebentar dan diam tak menghiraukan. Ia sesekali menyeruput kopinya yang berada di atas meja bersama beberapa berkas kasus yang berserakan, kemudian kembali merenungkan sesuatu.

“Menurutmu, tentang kasus tadi pagi?” kata Sidik pelan tanpa menoleh. Ia tetap mengamati kemacetan.

“Pelakunya cukup hebat, buktinya ada pada dua luka fatal di perut dan leher korban, juga karena minimnya bukti yang ia tinggalkan!” kata Ita serius. Matanya berubah tajam membuatnya terlihat cantik.

“Hmmm,” gumam Sidik kembali berfikir. Tangan kirinya secara tak sadar memegang dagu. “Benar! Kasus ini terlalu rumit untuk sebuah kasus pembunuhan biasa. Faktanya, tidak ada sidik jari orang lain di kamar itu selain sidik jari korban. Di TKP juga sama sekali tidak ada tanda-tanda perlawanan korban, seolah semua bukti menghilang dari sana.” tambah Sidik menjelaskan.

“Sebelumnya, pelaku mengetuk pintu. Setelah korban membukakan pintu, dia menodong lehernya dengan pisau lalu menyuruhnya diam dan duduk ke kursi. Setelah korban duduk, pelaku menikam korban di perut dan juga lehernya, tepat mengenai arteri,” kata Ita.

“Kenapa kau yakin akan hal itu?” tanya Sidik. Meskipun perkiraan kejadian miliknya persis sama seperti yang dikatakan Ita.

“Pada leher kanan korban terdapat luka bekas sayatan pisau. Kemungkinan muncul ketika korban ditodong dengan pisau. Lagipula, tidak ada jalan masuk ke kamar itu selain lewat pintu, karena jendelanya berjeruji. Fakta bahwa pintunya tidak rusak menjadi petunjuk bahwa korbanlah yang membuka pintu dari dalam,” lanjut Ita tersenyum. Sidik ikut tersenyum. Ia tak menyangka bahwa Ita ternyata cukup pintar.

“Lalu, kenapa pelaku repot-repot menyuruh korban untuk duduk sebelum membunuhnya?” tanya Sidik lagi. Wajah Ita tiba-tiba berubah. Ia sepertinya belum memikirkan sampai sejauh itu. Wajahnya tampak sedikit kebingungan. “Mungkin pelakunya tidak ingin kecipratan darah korban.” lanjut Ita ragu.

“Itu mungkin saja, tapi masih ada kemungkinan lain!” kata Sidik serius.

“Kemungkinan lain?” Ita terlihat penasaran.

“Ya, kemungkinan lainnya pelaku menanyakan sesuatu dulu pada korban. Mungkin terkait laptop atau ponsel milik korban.” kata Sidik yakin. Matanya terlihat bersinar dari balik lensa kacamata yang dipakainya.

Lihat selengkapnya