Titik Temu

Ali Wardani
Chapter #5

Kasus Kedua

SIDIK berlari dan terus berlari. Ia menerabas jalan raya secepat mungkin menuju apartemen. Jika dugaannya benar, maka kasusnya menjadi lebih besar dari yang sebelumnya. Setelah memasuki gedung apartemen, Sidik yang tetap dalam keadaan berlari segera menuju tangga. Ia tahu menunggu lift hanya akan membuang-buang waktunya, sekaligus membuat situasinya menjadi lebih mencekam. Sidik berlari menaiki tangga dan terlihat amat khawatir. “Semoga belum terlambat!” katanya terus dalam hati. Sesampainya di lantai lima, dalam lorong yang terlihat sepi dan remang, Sidik berhenti. Ia melihat sesosok bayangan manusia melihat ke arahnya, persis di ujung lorong. Sosok itu kemudian melambaikan tangan padanya. Sidik pun segera berlari menghampirinya.

 “Bagaimana?” tanya Sidik pada Ita.

 “Sepertinya tidak ada orang, dari tadi aku mengetuk pintu dan tidak ada yang menjawab. Padahal, lampu di dalam menyala!” kata Ita. Ia menunjuk pintu di depannya yang mengeluarkan cahaya lampu dari sela-sela kusennya. Pintu itu adalah pintu masuk apartemen perempuan yang mereka cari. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sidik berusaha memasuki apartemen itu. Sialnya, ia tak mampu membuka pintu. Pintunya terasa sangat keras untuk didorong. Jelas bahwa apartemen itu telah terkunci. Entah dari luar ataupun dari dalam.

“Woiii! Ada orang tidak?” teriak Sidik sembari terus berusaha membuka pintu. Ita yang melihat Sidik segera menyadari sesuatu juga. Ia lantas membantu Sidik mencoba membuka pintu. “Ada orang di dalam? Kami polisi, tolong jawab!” kata Ita terus. Beberapa saat berlalu dan masih tidak ada jawaban dari dalam. Tak ada suara apapun terdengar kecuali suara Ita dan Sidik. “Woiii! Jangan ribut!” kata seorang perempuan penghuni apartemen sebelah yang merasa risih akibat anaknya tiba-tiba terbangun oleh teriakan mereka. Mendengar keluhan perempuan itu, Sidik kehilangan kesabarannya. Ia mulai menendang pintu yang terkunci tersebut dengan keras. Mencoba mendobrak masuk dengan segala cara. Tanpa perlu diminta, Ita pun ikut mendobrak pintu itu.

“Brakkkk!” pintu terbanting ke tembok dengan keras. Meninggalkan bekas kerusakan di kusen tempat kuncinya. Terdengar dentingan beberapa besi kecil dari gagang pintu yang terlepas dan berserakan di lantai. Suara engsel hampir terlepas pun berdecitan setelahnya. Sidik dan Ita merangsek masuk ke dalam apartemen dengan cepat. Belum sempat berkeliling, mereka terhenti persis tiga meter dari pintu masuk. Ita terdiam sedangkan Sidik melepas kacamatanya tanpa berbicara sedikitpun. Mereka berdiri di tempatnya masing-masing dan tak bergerak lebih jauh. Sidik dan Ita menatap sedih sesosok tubuh tak bernyawa beberapa meter dari mereka. Mayat itu tergeletak kaku di bawah lampu ruang yang hangat dan terang. Matanya terbuka lebar seolah melihat malaikat maut ketika datang menjemputnya. Darahnya yang masih segar perlahan membasahi lantai. Merambat pelan merubah warna lantai yang tadinya putih menjadi merah mencekam. Tiba-tiba saja sebuah televisi yang berada di atas meja‒persis di samping kiri ruang‒mendadak mati tanpa disentuh siapapun.

*

Peristiwa yang amat memilukan. Seorang perempuan muda telah terenggut nyawanya di awal malam. Kini ia hanya bisa mengutuki keadaan yang sunyi. Sebab karenanya ia dengan mudah terbunuh. Karenanya pula pelaku yang membunuhnya mudah melarikan diri. Kini mayatnya terbujur kaku tak lagi merasakan hangatnya darah. Juga tak kedinginan oleh lantai tempatnya tertelungkup. Sebuah luka tusuk di bagian belakang badannya adalah saksi bahwa ia pernah hidup. Sedang seluruh benda yang bersamanya di ruang tempat ia meregang nyawa adalah saksi kunci untuk mengungkap pelakunya. Hanya saja, cuman segelintir orang yang tahu dan paham bahasa benda-benda itu. Salah-satu dari segelintir orang yang paham bahasa benda-benda itu bernama polisi, yang kini tengah mencoba berbicara dengan benda-benda tersebut.

Lihat selengkapnya