AROMA berbagai jenis makanan dan minuman memanjakan hidung. Bertebaran menjadi polusi yang merayu selera. Beberapa gerobak makanan pun berjajar-jajar menjajakan kuliner. Saling bersaing hingga beberapa meter ke dalam pasar. Di ujung bagian dalam pasar, terjajar rapi kursi dan meja makan yang bersih. Saling silang dengan artistik dan teratur. Mereka tersusun rapi di depan aneka kafe yang modern. Sangat modern hingga membuat siapa saja betah untuk berlama-lama di sana. Baik kafe-kafe itu atau gerobak makanan tadi memberikan kesan yang amat nyaman, ramah dan juga tentram.
Tak kalah jumlahnya dengan jenis kuliner yang dijajakan, ratusan manusia tumpah ruah di dalam pasar. Saling bercengkrama dan mencuri pandang. Beberapa lelaki sedang berbicara perihal negara, ribut saling berdebat di sebuah kafe dengan lampu remang dan logo aneh berbentuk cangkir berasap. Pengunjung lain tak kalah serunya, mereka terlihat sangat menikmati suasana pasar segar Makassar. Ada yang pacaran, berdiskusi tentang tugas kuliah, pekerjaan, organisasi, komunitas, masa lalu, masa depan, menggunjing, bertengkar dan bahkan diam menikmati suasana. Benar-benar sebuah keramaian yang beraneka ragam.
Di tengah keramaian yang beragam itu, duduk bingung seorang pria kurus memakai kacamata. Ia terlihat penasaran dengan perempuan berambut sebahu di depannya. Bukan penasaran tentang perasaan, tetapi lebih kepada alasan perempuan itu terus diam padanya sejak mereka sampai di sana. Mengingat perempuan itu adalah rekan kerjanya, ia semakin kebingungan. Akan sulit baginya bekerja sama jika perempuan ini terus seperti itu. “Ini orang kenapa?” bisiknya dalam hati terus menerus. Tak lama ia pun memberanikan diri untuk bertanya. Sebuah langkah yang cukup berani mengingat mahluk di depannya itu adalah perempuan.
“Kenapa? Dari tadi diam terus,” tanya Sidik pelan penuh kehati-hatian. Ia bertanya sambil memandang ke arah lain. Tidak menatap Ita yang tak berbicara sedari tadi.
“Hmmm!” gerutu Ita juga memandang ke arah lain. Tingkahnya membuat Sidik semakin kebingungan. Ia merasa tak melakukan kesalahan sejauh ini. Entah apa yang membuat Ita bersikap acuh padanya.
“Maaf kalau ada salah!” kata Sidik lagi. Ita pun memalingkan wajahnya ke arah Sidik. Perlahan Sidik pun memandang Ita.
“Apa kau percaya padaku?” tanya Ita dengan sorot mata yang tajam. Seperti sorot mata seorang istri yang bertanya kepada suaminya apakah ia masih sayang atau tidak padanya.
“Hmmm!” gumam Sidik menatap Ita sejenak. Ia terlihat bingung dengan pertanyaan itu. “Jelas saya percaya, tidak mungkin tidak percaya!” kata Sidik.
“Lalu, kenapa tidak membagi informasi tersangka?” tanya Ita mengerutkan bibirnya. Ia lantas menyilangkan tangan. Ita marah karena merasa tidak dipercaya sejak awal bekerja dengan Sidik.
“Ohhh begitu, hahaha!” tawa Sidik tiba-tiba pecah. Ia menyadari penyebab Ita marah padanya. Ternyata soal informasi tersangka yang disembunyikan Sidik sejak awal penyelidikan. Ita yang melihat Sidik tertawa malah bertambah marah. Ia pun melayangkan cubitan keras ke tangan sidik yang tersandar di atas meja.