Ucapannya tadi siang benar, dia membawa jajanan untuk menyogokku agar aku mau membantunya. Setelah selesai, kami duduk di bangku yang terletak di taman panti—salah satu tempat favorit kami disini. Pandangan kami tertuju pada langit yang terbentang di atas, menatap bintang-bintang yang bersinar menerangi malam ini, seolah memberi cahaya di tengah kesunyian.
“Kita seperti langit dan bintang,” ucapnya membuka suara,
“Kenapa?” ucapku penasaran, masih belum sepenuhnya mengerti.
Dia menatapku sejenak, lalu kembali menatap langit yang luas. “Aku si langit yang selalu ada, meski terkadang tertutup awan. Aku memberi ruang bagi bintang untuk bersinar. Kamu, bintang—meskipun kecil dan jarang terlihat, tetap memberi cahaya yang tak ternilai. Bahkan, kadang, cahaya kecilmu itu yang bisa menerangi kegelapan yang paling dalam."
Aku terdiam, terenyuh oleh kata-katanya “Jadi, kita saling melengkapi, ya?” ucapku pelan.
Dia mengangguk, senyumnya semakin lebar, “Iya, meski tak selalu bersama, kita tetap punya tempat satu sama lain, seperti langit dan bintang. Tak perlu selalu bersinar terang, tapi cukup ada untuk saling memberi cahaya.”
“Kamu cocok banget masuk jurusan sastra, kata katanya puitis banget.”
“Yeh kamu merusak suasana aja.” jawabnya, setengah mengeluh.
“Aneh tau tiba tiba kamu kaya gini.”
“Haha iya deh.”
“Tapi satu hal yang harus kamu tahu, bintang tidak selalu bersinar tanpa henti. Ketika ia lelah, ia akan berhenti sejenak, memberi ruang bagi bintang lain untuk bersinar menggantikannya. Begitu pula kamu, ketika kamu merasa lelah, tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak dari segala beban yang ada. Biarkan aku yang menggantikanmu, menjadi cahaya yang menyinari untuk sementara waktu.” Lanjutnya sembari menatapku dalam
Mataku mulai berkaca-kaca mendengar ucapan tulus darinya. aku masuk ke dalam pelukannya.
“Makasih ya,” ucapku dengan suara yang bergetar
“Aku tahu, ada banyak hal yang kamu sembunyikan dariku. Tapi yang perlu kamu ingat, aku selalu ada di sini, di sampingmu.”