Titik Terang

Adira Putri Aliffa
Chapter #2

Sesekali Kita Harus Tak Peduli

Suara riuh dari kelas Arka terdengar jelas dari lorong yang dilewatinya. Dengan gaya kerennya, ia menenteng kantong plastik hitam berisi kue tradisional tadi seperti membawa tas belanja. Sembari membetulkan gaya rambutnya, ia berjalan menyusuri lorong. Saat hampir mendekati kelasnya, tak sengaja ia berpapasan dengan dosen favoritnya yang sedang melewati lorong tersebut. Pak Damskuy, begitulah kami menyebutnya.

Sebenarnya nama beliau Adam, tetapi karena beliau sosok yang gaul jadi banyak anak didik memanggil beliau Damskuy, kecuali Arka. Dari dulu Arka memang selalu menghormati dan menghargai siapapun, walau sedekat apapun ia dengan seseorang, ia akan tetap memanggil orang itu dengan nama aslinya. Pak Adam terkenal sebagai dosen dengan gaya yang jawa kekinian dan sangat ramah dengan anak didiknya. Beliau juga merupakan guru pembimbing lomba Arka yang seringkali mengajarkan Arka banyak hal. Tak heran jika Arka sangat ramah dan akrab sekali dengan beliau.

 

“Assalamualaikum. Pagi Pak Adam. Bagaimana kabarnya, pak?”

 

“Wa’alaikumussalam. Pagi nang. Alhamdulillah, saya baik. Kamu gimana?”

 

“Alhamdulillah baik juga pak. Pak bapak kangen lemper, putu ayu, sama arem-arem ga? Ini saya ada, bapak mau?” ucap Arka sembari mengambil tiga kue tadi dari kantong plastik.

 

“Wah boleh-boleh. Kebetulan sekali saya juga belum sarapan. Bisnis barumu ini nang?”

 

“Bukan pak, tadi di jalan saya ketemu anak kecil jualan kue ini.” Jelas Arka sembari memberikan kue tadi kepada Pak Adam.

 

“Wah jadi kamu borong ini semua?”

 

“Hehe iya pak. Kasian soalnya, anak yatim piatu masih kecil harus berjuang menghadapi dunia yang keras ini pak.”

 

“Di balik sikapmu yang kaku kayak robot ternyata hatimu selembut slime ya, nang.”

 

“Kok pengibaratannya slime sih pak.”

 

“Ya gapapa, yang ada di pikiran saya itu soalnya. Hahaha. Yauda saya ke ruangan saya dulu ya. Jangan lupa nanti kalau kamu udah selesai kelas atau lagi senggang. Bimbingan lagi soal ide kamu yang kemarin sama Ridwan dan Fara ya.”

 

“Siap pak.” Jawab Arka mengganggukkan kepala.

 

Setelah mengakhiri obrolannya dengan Pak Adam, Arka beranjak masuk ke kelasnya. Belum sempat duduk, seseorang yang bernama Doni mengajaknya berbicara dari kejauhan.

 

“Weh anak sultan jualan nih? Apa duit yang bapak lu kasih kurang? Atau keluarga lu jatuh miskin?” ucap sinis seorang lelaki yang berada di pojok ruangan.

 

“Mulut lu dijaga bisa ga? Kalau gatau apa-apa mending diem deh. Dari dulu kok irinya ga hilang-hilang.” teriak Jaka, kawan baik Arka membela temannya itu.

 

Jaka hampir saja memukul Doni, ia sudah sampai di titik amarahnya sampai menunjuk dan membentak Doni dengan nada tinggi.

 

“Jak udah jak.” Ucap Arka menenangkan Jaka yang sedang naik darah.

 

Arka menghiraukan perkataan yang dilontarkan Doni, ia sudah kebal dengan berbagai hujatan dan perkataan buruk yang melewati telinganya. Mungkin karena ia sudah biasa menghadapi orang-orang yang tak suka padanya karena dunia memang tak selalu berpihak pada apa yang kita inginkan. Kita tak bisa menuntut semua orang untuk suka dengan apa yang kita lakukan dan apa yang kita dapatkan. Berani untuk tidak disukai adalah hal yang harus kita terapkan agar hidup kita tenang. Jika mendapat kritik yang membangun, pikirkan dan terapkan agar bisa berkembang. Jika mendapat kritik yang menjatuhkan, hiraukan. Hidup ini terlalu berharga untuk memikirkan perkataan buruk segelintir orang yang tak menyukai kita, bukan?

 

“Nih tadi gue beli kue banyak, yang mau ambil aja.” ujar Arka kepada semua teman yang ada di kelasnya sembari meletakkan kantong plastik di atas podium mini bagian depan dekat meja dosen.

 

“Maaf buat yang ga kebagian, itu sisa 15 doang soalnya.” tambahnya.

Lihat selengkapnya