Seperti janjinya, Arka akan membeli dagangan kue tradisional adik kecil yang ia temui di pinggir jalan kemarin dan akan dibagikan lagi ke teman-temannya. Setelah membagikan kue tradisional dagangan anak kecil yang ia temui kemarin ke kelasnya pagi itu, Arka langsung menuju ke ruang diskusi untuk latihan presentasi sembari membawa kue yang sengaja ia sisakan untuk dibagikan kepada dua teman setimnya. Lelaki yang merupakan penggemar berat sambal kacang itu, akhirnya tiba di ruangan favorit bagi semua mahasiswa di kampusnya untuk bertukar pikiran dan berdiskusi, dimana ruangan itu sangatlah aesthetic.
Di sana terdapat meja beserta kursi yang sangat cantik, ada juga tempat lesehan beralas karpet bulu dan beberapa bantal duduk yang sangat nyaman. Ruangan itu cukup luas, temboknya bewarna biru, lalu ornamen-ornamennya berwarna senada dengan dinding tersebut. Selain itu, hiasan di dinding menambah nilai keestetikkan ruang diskusi, lalu juga terdapat beberapa LCD, beberapa komputer, serta kulkas minuman dingin yang berada di pojok ruangan.
Ruangan itu tak sembarangan bisa digunakan, yang ingin datang harus membuat janji dulu kepada penjaga ruangan itu sehari sebelum memakainya dan memberikan keterangan nama acara mereka. Hal ini diterapkan agar mahasiswa bisa lebih tertib sehingga tidak ada orang yang sembarangan masuk ke dalam dan merusak suasana.
“Oy Ar.” sapa salah satu teman setimnya, siapa lagi kalau bukan si demen nyantai dan luarnya terlihat seperti sedikit bad boy, tetapi otaknya pintar yakni, Ridwan.
“Oy oy, gimana mental kalian? Aman?” tanya Arka.
“Sekarang sih masih aman, gak tau besok.” Ujar Fara.
“Halah Far Far udah profesional masih aja ngomong gitu.” sahut Ridwan.
“Profesional apaan.”
“Udah gak usah sok-sok an merendah lu, Far. Udah jadi speaker dimana-mana pake acara merendah segala.” jelas Ridwan.
“Eh by the way, ini gue ada kue buat kalian. Buat cemilan, ntar.” sambung Arka sembari memberikan 3 risoles, putu ayu, sosis solo, dan dadar gulung.
“Wahh risoll. Makasih ya Ar, kesukaan gue banget nih. Gue ambil dua ya.”
“Yoi ambil aja.” jawab Arka.
“Nih Far, lu suka ini kan?” tanya Arka sembari memberikan sosis solo kepada Farasya.
“Kok lu tau gue suka sosis solo?”
“Cie cie cie.” ejek Ridwan menyela.
“Ya gimana gue gak tahu, orang hampir tiap hari pas kita jajan ke kantin lu selalu beli itu Bu Ami kan?” jawab Arka menjelaskan agar tak salah paham.
“Oh iya hehe.” jawab Farasya sembari menunjukkan wajah sedikit kesal karena mengetahui bahwa Arka tak benar-benar perhatian. Namun, tak apa, Arka bisa mengingat makanan kesukaannya saja itu sudah menyenangkan.
“Fara baper tu Ar, tanggung jawab lu.” Ridwan lagi-lagi menyela.
“Apaan si, Wan. Sok tahu banget.” Jelas Farasya agar tak salah paham, wajah Fara terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Arka yang cuek dan tidak peka hanya terdiam sembari menyalakan laptopnya dan memakan putu ayu. Suasana seketika hening, karena mereka sama-sama asik dengan laptop mereka sendiri sembari memakan kue Arka.
“Gue ke kamar mandi dulu ya.” ujar Farasya tiba-tiba.
“Mau ditemenin gak?” cetus Ridwan dengan wajah penuh leluconnya.
“Heh ngawur lu.” Sahut Arka memberi peringatan pada Ridwan.
“Ditemenin Bu Asri maksudnya, ah elah.”
“Gue sentil ginjal lu ya, Wan.” Ancam Farasya.
“Gapapa malah enak aw.”
Farasya langsung menghampiri Ridwan dan memberikan jeweran merah jambunya.
“Argh aduh ini sakit beneran Far, ampun-ampun. Orang bercanda juga.”
“Lu bikin gue kesel sih.”
“Maaf maaf. Udah sono, nanti keburu ke luar di sini lho.” Jawab Ridwan.
“Ishh!! Lu tu ya!” pekik Farasya mengepalkan tangannya tepat di depan kepala Ridwan lalu langsung pergi ke toilet.
“Buset deh ya, Fara lagi PMS deh kayaknya. Tumben galak banget. Biasanya juga suka bercanda sama gue.” Ridwan merasa heran.
Arka hanya terdiam mendengar perkataan Ridwan sembari meneka keyboard laptop dengan cepat.